Jumat 20 Oct 2023 10:41 WIB

Suku Bunga The Fed Diproyeksikan Naik Lagi, Apa Dampaknya?

Meningkatnya ketegangan geopolitik akan tingkatkan inflasi global.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Lida Puspaningtyas
Gedung bank sentral AS the Federal Reserve
Foto: AP Photo/Patrick Semansky
Gedung bank sentral AS the Federal Reserve

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) mengungkapkan saat ini ekonomi global melambat dengan ketidakpastian yang semakin meningkat tinggi. Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan suku bunga di negara maju termasuk Fed Funds Rate (FFR) masih akan higher for longer.

"Memang kami menakar ada probabilitas sekitar 40 persen FFR akan naik pada Desember 2023. Tapi meskipun naik atau tidak itu masih akan tetap tinggi khususnya pada paruh pertama tahun depan dan baru akan mulai turun pada paruh kedua tahun depan," kata Perry dalam konferensi pers RDG Bulanan BI Oktober 2023, Kamis (19/10/2023).

Perry menjelaskan, pertumbuhan ekonomi global diperkirakan melemah dan disertai divergensi pertumbuhan antarnegara yang semakin melebar. Dia menuturkan, pertumbuhan ekonomi pada 2023 diperkirakan sebesar 2,9 persen dan melambat menjadi 2,8 persen pada 2024 dengan kecenderungan risiko yang lebih rendah. Menurutnya, saat ini ekonomi Amerika Serikat (AS) pada 2023 masih tumbuh kuat.

"Ini terutama ditopang oleh konsumsi rumah tangga dan sektor jasa yang berorientasi domestik," ucap Perry.

Sementara itu, Perry menyebut pertumbuhan ekonomi China melambat. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh pelemahan konsumsi dan penurunan kinerja sektor properti. Dia menambahkan, meningkatnya ketegangan geopolitik juga mendorong harga energi dan pangan meningkat.

"Ini mengakibatkan tetap tingginya inflasi global," tutur Perry.

Untuk itu, Perry mengatakan suku bunga kebijakan moneter di negara maju termasuk FFR diperkirakan akan tetap bertahan tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama. Dia menambahkan, kenaikan suku bunga global diperkirakan akan diikuti pada tenor jangka panjang dengan kenaikan  yield obligasi pemerintah negara maju, khususnya AS (US Treasury) akibat peningkatan kebutuhan pembiayaan utang Pemerintah, dan kenaikan premi risiko jangka panjang (term premia).

Berbagai perkembangan tersebut mendorong pembalikan arus modal dari negara Emerging Market Economies (EMEs) ke negara maju dan ke aset yang lebih likuid. Perry mengatakan hal tersebut mengakibatkan dolar AS menguat secara tajam terhadap berbagai mata uang dunia.

"Ketidakpastian ekonomi dan keuangan global semakin tinggi karena terjadi bersamaan dengan meningkatnya ketegangan geopolitik dan karenanya memerlukan penguatan respons kebijakan untuk memitigasi dampak negatif rambatan global terhadap ketahanan ekonomi domestik di negara-negara EMEs, termasuk Indonesia," jelas Perry.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement