REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan ke depan patut dicermati dampak lanjutan dari tingginya ketidakpastian perekonomian maupun geopolitik global. Khususnya karena kebijakan moneter global yang masih ketat atau hawkish dan termoderasinya perekonomian China.
"Kondisi itu dapat meningkatkan sentimen terhadap risiko likuiditas maupun risiko pasar," kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae dalam konferensi pers RDK Bulanan OJK September 2023, Senin (9/10/2023).
Sehubungan dengan hal tersebut, Dian menegaskan, perbankan akan didorong untuk meningkatkan daya tahannya. Hal itu dilakukan melalui penguatan permodalan dan pembentukan pencadangan secara memadai.
Dalam rangka mengukur ketahanan bank, Dian memastikan juga dilakukan stress test industri perbankan secara periodik, OJK juga meminta perbankan secara rutin melakukan stress test secara mandiri untuk memastikan kekuatan tingkat permodalannya untuk mengukur kemampuannya dalam menyerap potensi penurunan kualitas kredit restrukturisasi.
Selanjutnya, dia memastikan, OJK juga senantiasa berupaya memperkuat mitigasi risiko secara berkelanjutan. "Ini dilakukan dalam menghadapi tantangan ke depan dengan melakukan peningkatan kualitas pengawasan yang diiringi penguatan regulasi," ungkap Dian.
Berkaitan dengan hal tersebut, Dian menuturkan, berbagai upaya OJK dalam melakukan konsolidasi perbankan diharapkan dapat terus menjaga industri perbankan tetap tangguh. Selain itu juga bisa memberikan kontribusi baik bagi perekonomian dan masyarakat.
Konsolidasi Perbankan tersebut juga diperkuat dengan upaya peningkatan integritas sistem keuangan secara keseluruhan melalui penerbitan POJK Nomor 17 Tahun 2023 tentang Penerapan Tata Kelola Bagi Bank Umum yang merupakan tindak lanjut dari amanat UU P2SK. Selan itu, dalam menjaga integritas sistem perbankan, OJK akan bertindak tegas serta bekerjasama dengan Aparat Penegak Hukum (APH) dan PPATK untuk menindak pihak yang memanfaatkan bank untuk tujuan-tujuan yang melawan hukum.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan divergensi kinerja perekonomian global masih terus berlanjut. Mahendta menuturkan, inflasi di Amerika Serikat (AS) masih tinggi di tengah solidnya kinerja perekonomian yang mendorong kebijakan bank sentral The Fed yang diprediksi akan lebih hawkish.
Sementara di Eropa, Mahendra menyebut, meskipun kinerja perekonomian terus melemah dan tingkat inflasi yang masih membuat otoritas moneter Eropa kembali menaikan suku bunganya. Hal tersebut menurutnya mengisyaratkan tingkat suku bunga saat ini telah mencapai puncaknya.
Lalu di China, Mahendra mengatakan pemulihan ekonomi yang belum sesuai ekspektasi dan kinerja ekonomi yang masih di level pandemi meningkatkan kekhawatiran. Khususnya bagi pemulihan perekonomian global.
"Insentif fiskal dan moneter yang dikeluarkan otoritas China masih terbatas," tutur Mahendra.
Mahendra menilai, perkembangan-perkembangan tersebut mendorong berlanjutnya kenaikan yield surat utang di Amerika Serikat. Begitu juga dengan penguatan nilai tukar dolar AS terhadap semua mata uang dunia utama lainnya dan negara-negara berkembang.
"Ini menyebabkan tekanan outflow dari pasar emerging markets termasuk Indonesia. Volatilitas di pasar keuangan baik di pasar saham, obligasi, dan nilai tukar juga dalam tren yang meningkat," ungkap Mahendra.