REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan bahwa pemerintah terus berupaya menekan harga beras agar menjadi normal kembali.
Ketika menyampaikan arahan dalam Konsolidasi Nasional Jaringan Relawan Alap-Alap Jokowi di Sentul, Jawa Barat, Sabtu (7/10/2023), Jokowi mengungkapkan, kenaikan harga beras tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di banyak negara, akibat krisis pangan global. Misalnya beras di Singapura rata-rata harganya Rp 21.600, di Brunei harganya sudah mencapai rata-rata Rp 37.000.
"Di tetangga dekat kita di Timor Leste harganya Rp 20.000 ribu. (Harga beras) kita masih Rp 10.800-Rp 13.000, tetapi memang harganya naik. Di globalnya memang seperti itu," kata Jokowi.
Selain krisis pangan global, kenaikan harga pangan juga dipicu kebijakan 22 negara produsen beras, termasuk India, yang menghentikan ekspornya. Kondisi global ini semakin diperparah dengan dampak perubahan iklim yaitu cuaca panas dan kemarau panjang, yang menyebabkan produksi beras menurun.
Padahal, ujar Jokowi, Indonesia masih perlu mengimpor 1,5 juta ton hingga 2 juta ton beras dari luar negeri karena produksi dalam negeri yang belum mencukupi sementara jumlah penduduk terus bertambah. "Penduduk kita saat ini sudah 278 juta jiwa dari sebelumnya 270 juta jiwa, sehingga produksi berasnya juga harus bertambah. Inilah masalah yang harus saya sampaikan apa adanya karena masalah di sebuah negara akan berimbas ke negara lain," kata Jokowi.
Untuk merespons tingginya harga beras, dia memaparkan, pemerintah selama enam bulan terakhir telah memberikan bantuan 10 kilogram beras per bulan bagi 21,3 juta keluarga penerima manfaat (KPM). Kebijakan itu akan diteruskan hingga November mendatang untuk meringankan beban masyarakat yang membutuhkan.
"Sepanjang APBN kita ada masih ada ruang pasti akan kita putuskan (untuk membantu)," janji Jokowi.