Rabu 27 Sep 2023 15:36 WIB

Riset IESR Sarankan Daerah Penghasil Batu Bara Beralih ke Manufaktur

Transformasi ekonomi sangat diperlukan bagi daerah-daerah penghasil batu bara.

Kapal tongkang pengangkut batu bara melintasi Sungai Musi yang tertutup kabut asap di Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (1/9/2023). Berdasarkan pantauan satelit Himawari SM 9 terdeteksi sebaran asap di wilayah Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan yang merupakan dampak dari kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang terjadi di daerah tersebut.
Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Kapal tongkang pengangkut batu bara melintasi Sungai Musi yang tertutup kabut asap di Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (1/9/2023). Berdasarkan pantauan satelit Himawari SM 9 terdeteksi sebaran asap di wilayah Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan yang merupakan dampak dari kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang terjadi di daerah tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Riset dari lembaga di bidang energi dan lingkungan Institute for Essential Services Reform (IESR) menyarankan daerah penghasil batu bara untuk bersiap beralih ke industri manufaktur seiring upaya pemerintah beralih ke transisi energi.

“Menurut beberapa modelling ekonomi yang memiliki multiplier effect yang tinggi dan konektivitas yang tinggi adalah manufaktur,” kata analis kebijakan lingkungan IESR Ilham SuryaIlham Surya dalam Seminar Hibrid IESR bertajuk Sunset PLTU dan Industri Batubara yang disaksikan di Jakarta, Rabu (27/9/2023).

Ilham menuturkan, transformasi ekonomi sangat diperlukan bagi daerah-daerah penghasil batu bara dan yang memiliki ketergantungan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan produk domestik regional bruto (PDRB) yang tinggi terhadap industri batu bara.

Kontribusi sektor pertambangan pada ekonomi lokal di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, mencapai 70 persen dan 50 persen di Kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan. Kemudian dana bagi hasil (DBH) dari pajak dan royalti pertambangan batu bara berkontribusi signifikan pada pendapatan pemerintah hingga 27 persen di Paser dan 20 persen di Muara Enim.

“Transformasi ekonomi diperlukan karena APBD dan PDRB ketergantungan yang tinggi terhadap batu bara dan ramalan batu bara ini turun, otomatis mereka harus mencari sektor lain,” katanya.

Berdasarkan riset IESR atas beragam jenis model ekonomi, terdapat tiga hal penentu sebuah model ekonomi dikategorikan sebagai sektor unggulan. Pertama, sektor tersebut memiliki keunggulan dibandingkan daerah lain. Kedua, mempunyai income multiplier efek yang tinggi dan ketiga memiliki konektivitas yang tinggi.

“Konektivitas yang tinggi artinya adalah jika Rp 1 diinvestasikan ke sektor tersebut, dia akan meningkatkan Rp 1 juga ke sektor yang lain seperti sektor pertanian misalkan,” ujarnya.

Multiplier effect berarti semakin besar investasi di sektor tersebut maka penggandanya juga harus semakin besar tidak seperti sektor batu bara yang sektor penggandanya digunakan di kabupaten atau kota lain yang lebih besar daripada daerah asal penghasil.

IESR mendata, sektor pertambangan tidak memberi nilai tambah tinggi pada upah tenaga kerja karena nilai tambah surplus perusahaan signifikan lebih besar dengan perbandingan 20 persen banding 78 persen. Begitu juga dengan angka multiplier yang bukan tertinggi baik dari pendapatan maupun kesempatan kerja.

Untuk mencapai transformasi ekonomi, IESR menyarankan pemerintah terutama pemerintah daerah untuk menyiapkan pendanaan transisi melalui DBH yang disiapkan khusus untuk transisi, dana CSR hingga pembentukan dana kumpulan (pool fund).

Lalu menyiapkan SDM jangka pendek melalui peningkatan kualitas SDM dan jangka panjang dengan pengenalan dan pengajaran ekonomi hijau. Serta melibatkan lebih banyak partisipasi publik dengan mempermudah akses untuk berpartisipasi.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement