REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat ini viral mengenai pinjaman online (pinjol) AdaKami yang melakukan penagihan kepada konsumen atau penggunanya hingga menyebabkan bunuh diri. Korban diduga tidak mampu membayar, tetapi mengalami teror hingga pemecatan dari tempat bekerja dan pada akhirnya melakukan bunuh diri.
Mengenai informasi yang tersebar di media sosial tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menangani kasus tersebut. "Atas aduan AdaKami, sedang kami lakukan pendalaman atas dugaan pelanggaran tersebut," kata Deputi Komisioner Perlindungan OJK Sarjito kepada Republika.co.id, Rabu (20/19/2023).
Dia menjelaskan OJK juga saat ini tengah melakukan pemanggilan terhadap pihak terkait. Meskipun begitu, Sarjito belum bisa memberikan detail informasi mengenai dugaan kasus tersebut.
Sementara itu, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) memastikan sudah mencoba mengkonfirmasi mengenai dugaan kasus tersebut. Sekretaris Jenderal AFPI, Sunu Widyatmoko, mengatakan pihak dari AdaKami menginformasikan tidak ada identitas dari penggunanya yang melakukan bunuh diri.
"Sehingga tidak dapat dicek oleh AdaKami, apakah orang tersebut berutang dan apakah ada tindakan collection yang melangar aturan," kata Sunu kepada Republika.co.id, Rabu (19/9/2023).
Melalui media sosial Twitter, akun @rakyatvspinjol pada 17 September 2023 membagikan thread mengenai adanya pengguna pinjol AdaKami yang bunuh diri akibat penagihan yang tidak wajar. Akun tersebut membagikan tangkapan layar dari masyarakat mengadukan melalui Instagram, yang menguatkannya langsung kepada akun @poldametrojaya.
Akun tersebut menceritakan keluarganya bunuh diri akibat tidak mampu membayar pinjaman di AdaKami. Teror hingga berakhir kepada pemecatan pekerjaan membuat keluarganya terpuruk.
Lalu akun @rakyatvspinjol menceritakan, korban tersebut meminjam kepada AdaKami sebesar Rp 9,4 juta dan harus mengembalikan pinjaman hingga hampir Rp 19 juta. Saat korban telat membayar, teror mulai diterima hingga berujung pemecatan dari tempat bekerja karena debt collector terus menghubungi kantor tempat korban bekerja.
Tak hanya itu, order fiktif pesan antar makanan kerap berdatangan setiap hari. Hingga akhirnya, korban tersebut melakukan bunuh diri dengan adanya teror berkepanjangan tersebut.