REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Dunia mengungkapkan cara untuk menciptakan sistem logistik yang terintegrasi secara domestik dan internasional. Data Kemenko Perekonomian menyebutkan, pada 2022 biaya logistik nasional per PDB tercatat pada 14,29 persen.
"Pertanyaan yang sering diulang adalah bagaimana cara mengurangi biaya logistik per PDB. Kita punya target, 9 persen atau 8 persen pada 2045," ujar Konsultan Senior bidang Logistik Bank Dunia Lamiaa Bennis dalam acara Era Baru Biaya Logistik untuk Indonesia Emas 2045 di Jakarta, Kamis (14/9/2023).
Menurut Lamiaa, sistem logistik yang kuat dapat mengurangi biaya, memotong waktu, dan bisa lebih diandalkan. Selain itu, kata dia, sistem logistik yang kuat turut mempertimbangkan para pemangku kepentingannya. Dia menjelaskan bahwa terdapat tiga dimensi dalam kinerja logistik, yaitu biaya, waktu, dan reliabilitas.
"Sebelum ke rinciannya, kita melihat bahwa biaya logistik turun secara signifikan sejak 2011, dan penemuan-penemuan itu sejalan dengan target pemerintah, yaitu mengurangi sebesar 4 persen biaya logistik nasional per PDB pada 2020," katanya.
Lamiaa mengatakan bahwa penurunan dalam biaya logistik dan peningkatan pada berbagai level kinerja logistik nasional adalah hasil dari sejumlah reformasi, antara lain dalam iklim investasi, perkembangan infrastruktur, dan digitalisasi.
Lamiaa menjelaskan bahwa berbagai faktor yang menyebabkan tingginya biaya transportasi adalah tantangan terhadap sistem logistik baik di dalam maupun luar negeri, iklim investasi dan infrastruktur, serta kepemilikan lahan. Selain itu, terdapat permasalahan dalam hal investasi jasa pergudangan, serta kurangnya sumber daya manusia yang terampil.
Biaya administrasi, menurut dia, mahal karena masalah birokrasi yang menyebabkan waktu pemrosesan yang panjang, regulasi yang tidak pasti, serta implementasi kebijakan non-tarif. Ada juga masalah biaya untuk penyimpanan di gudang, yang disebabkan oleh masalah transportasi serta administratif.
Dia memaparkan sejumlah hal yang bisa dilakukan guna memperkuat sistem logistik agar bisa terintegrasi secara domestik dan internasional, di antaranya kepastian regulasi, iklim investasi, tenaga kerja yang memiliki keterampilan dalam bidang logistik dan manajemen rantai pasok, serta kolaborasi dan komunikasi.
Bagi para pedagang, ujarnya, diperlukan suatu sumber informasi terpusat guna mengikuti peraturan secara baik, proses yang bisa diandalkan, serta kepastian dalam regulasi.
"Sementara itu, bagi penyedia jasa logistik, perlu adanya regulasi-regulasi yang baik, kesempatan yang merata dan adil, infrastruktur yang kuat, kepastian," kata dia.
Dia mengatakan, metrik kinerja diperlukan agar bisa mengukur indikator-indikator logistik yang tepat dari waktu ke waktu. Lamiaa menyebut bahwa di dalam metrik tersebut, ada indikator-indikator logistik serta kepuasan pelanggan.
"Program Ekosistem Logistik Nasional dapat membantu mengumpulkan serta menelusuri metrik kinerja logistik ini serta kepuasan pelanggan dengan cara mengukur kinerja nyata dari berbagai bagian yang berbeda, (seperti) administrasi dan biaya transportasi," ujarnya.
Lamiaa menyebutkan, manajemen risiko perlu diimplementasikan. Sedangkan, para pembuat kebijakan perlu belajar untuk mempercayai para pedagang dan penyedia jasa logistik melalui manajemen risiko.
Menurut Lamiaa, yang paling penting adalah metrik tersebut bisa membantu dalam mengidentifikasi bagian-bagian yang mengalami perkembangan dalam prosesnya guna mengembangkan sistem logistik seiring dalam perjalanannya.
"Secara langsung, tiap minggu atau bulan, para pembuat kebijakan bisa melihat indikator-indikator itu, mengidentifikasi batasan-batasannya, dan mengambil langkahnya," dia menjelaskan.