Rabu 13 Sep 2023 16:28 WIB

Suku Bunga The Fed Masih Berpeluang Naik, Ini Risikonya

Lebih dari 20 persen ekspor kita ditujukan ke Negara China

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Lida Puspaningtyas
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Juda Agung.
Foto: ANTARA/Muhammad Adimaja
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Juda Agung.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) memperkirakan kebijakan suku bunga Amerika Serikat masih akan lebih restriktif dibandingkan dengan saat ini. Deputi Gubernur BI Juda Agung mengatakan peluang kenaikan Federal Funds Rate (FFR) saat ini masih ada.

"Kalau kita menengok sejenak apa yang terjadi pada perekonomian global, barangkali kita belum bisa bernafas lega. Di Amerika inflasi masih tinggi dan tampaknya belum kembali ke target dari The Fed dua persen dalam waktu dekat," kata Juda dalam Seminar Nasional Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM), Rabu (13/9/2023).

Dengan kondisi tersebut, Juda mengungkapkan terdapat risiko yang dapat terjadi. Dia menuturkan, dalam kondisi tersebut, risiko terjadinya volatilitas arus modal akan terjadi di berbagai negara.

Dia menyebut, saat ini momentum pemulihan ekonomi di China juga masih tertahan. "Hal ini seiring dengan kelemahan di sektor properti kemudian consumer confidence juga melemah," ucap Juda.

Selain itu, Juda mengatakan saat ini juga terjadi kontraksi di sektor industri yang ada di China. Hal tersebut menurutnya berdampak kepada kinerja ekspor Indonesia.

"Karena China sekarang merupakan negara tujuan utama ekspor kita. Lebih dari 20 persen ekspor kita ditujukan ke China," jelas Juda.

Sebelumnya, BI mengungkapkan sejumlah kondisi ekonomi global yang khususnya tengah dihadapi China dan Amerika Serikat. Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Erwindo Kolopaking mengungkapkan sejumlah alasan yang membuat ekonomi China loyo dan AS masih cerah di tengah kondisi yang tidak menentu.

"Ekonomi China ini tidak sebaik yang kita bayangkan," kata Erwindo di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (9/9/2023).

Dia menuturkan, pelaku ekonomi sangat meyakini pada awal tahun ini akan ada stimulus-stimulus tambahan dari China. Hanya saja ternyata kondisinya kurang baik, terutama adanya utang di sektor rumah tangga yang tinggi serta konsumsi dan kinerja properti yang memburuk.

Dalam beberapa tahun terakhir, Erwindo menyebut, China berusaha mendorong infrastruktur baik jalan maupun bangunan dan lainnya. Namun, saat China mencoba mendorong ke sektor konsumsi ternyata belum sepenuhnya menopang perekonomian domestik.

"Sehingga ketika perekonomian China melambat ini berdampak signifikan kepada negara-negara sekitar salah satunya Indonesia," ucap Erwindo.

Di sisi lain, Erwindo mengungkapkan, ekonomi AS ternyata lebih baik dari perkiraan. Dia menjelaskan, stimulus yang diberikan pada saat masa pandemi Covid-19 membuat masyarakat punya yang cukup banyak untuk menopang konsumsi.

Hal itu menurutnya membuat inflasinya stabil di atas target The Fed. "Akibatnya The Fed juga diperkirakan masih akan menaikkan suku bunga yang tadinya di kuartal III tapi sepertinya akan diundur pada kuartal IV 2023. Ini juga akan mendorong ketidakpastian di pasar keuangan," jelas Erwindo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement