Sabtu 09 Sep 2023 16:36 WIB

Alasan Loyonya Ekonomi China, Sementara AS Lebih Baik

Aspek konsumsi masyarakat belum mampu menopang perekonomian China.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Fuji Pratiwi
Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Erwindo Kolopaking (tengah) dan Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro (kiri) saat memeberikan paparan di pelatihan wartawan BI di Labuan Bajo, Sabtu (9/9/2023).
Foto: undefined
Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Erwindo Kolopaking (tengah) dan Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro (kiri) saat memeberikan paparan di pelatihan wartawan BI di Labuan Bajo, Sabtu (9/9/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, LABUAN BAJO -- Bank Indonesia (BI) mengungkapkan sejumlah konsisi ekonomi global yang khususnya tengah dihadapi China dan Amerika Serikat. Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Erwindo Kolopaking mengungkapkan sejumlah alasan yang membuat ekonomi China loyo dan AS masih cerah di tengah kondisi yang tidak menentu.

"Ekonomi China ini tidak sebaik yang kita bayangkan," kata Erwindo dalam acara pelatihan wartawan BI di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (9/9/2023).

Baca Juga

Dia menuturkan, pelaku ekonomi sangat meyakini pada awal tahun ini akan ada stimulus-stimulus tambahan dari China. Hanya saja ternyata kondisinya kurang baik, terutama adanya utang di sektor rumah tangga yang tinggi serta konsumsi dan kinerja properti yang memburuk.

Dalam beberapa tahun terakhir, Erwindo menyebut, China berusaha mendorong infrastruktur baik jalan maupun bangunan dan lainnya. Namun, saat China mencoba mendorong ke sektor konsumsi ternyata belum sepenuhnya menopang perekonomian domestik.

"Sehingga ketika perekonomian China melambat ini berdampak signfikan kepada negara-negara sekitar salah satunya Indonesia," ucap Erwindo.

Di sisi lain, Erwindo mengungkapkan, ekonomi AS ternyata lebih baik dari perkiraan. Dia menjelaskan, stimulus yang diberikan pada saat masa pandemi Covid-19 membuat masyarakat punya yang cukup banyak untuk menopang konsumsi.

Hal itu menurutnya membuat inflasinya stabil di atas target The Fed. "Akibatnya The Fed juga diperkirakan masih akan menaikkan suku bunga yang tadinya di kuartal III tapi sepertinya akan diundur pada kuartal IV 2023. Ini juga akan mendorong ketidakpastian di pasar keuangan," jelas Erwindo.

Dia menambahkan, saat ini juga memasuki tahun fiskalnya yang akan berakhir pada kuartal III 2023. Kondisi tersebut juga menurutnya akan mendorong pasar keuangan sedikit bergejolak.

"Pada intinya pertumbuhan ekonomi terjaga, PMI globalnya juga relatif membaik, penjualan eceran global di AS juga masih tinggi karena memang sisi permintaan di Amerika sangat kuat," ucap Erwindo.

Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan Ketidakpastian perekonomian global kembali meningkat. Pergeseran komposisi pertumbuhan ekonomi global 2023 juga semakin kuat, meskipun secara keseluruhan tahun pertumbuhan ekonomi global sama dengan prakiraan sebelumnya sebesar 2,7 persen.

Di satu sisi, Perry menyebut, pertumbuhan ekonomi China lebih rendah akibat keyakinan pelaku ekonomi yang melemah. Selain itu juga utang rumah tangga yang tinggi sehingga menurunkan konsumsi dan kinerja properti yang turun yang berdampak pada investasi.

Sementara itu, Perry mengatakan, pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat lebih baik dari perkiraan semula. "Ini dipengaruhi konsumsi yang membaik ditopang kenaikan upah dan pemanfaatan tabungan yang tinggi," ucap Perry.

Sementara itu, tekanan inflasi negara maju masih tinggi dipengaruhi perekonomian yang kuat dan pasar tenaga kerja yang ketat, sedangkan inflasi di negara berkembang telah menurun. Perry mengatakan hal tersebut diperkirakan mendorong berlanjutnya kenaikan suku bunga kebijakan moneter di negara maju, termasuk Federal Funds Rate (FFR) AS.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement