Kamis 07 Sep 2023 23:54 WIB

Dirut Pertamina Ungkap Sejumlah Alasan Penyebab Harga Energi Terbarukan Mahal 

Harga yang mahal tidak Pertamina mengembangkan energi terbarukan. 

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Fuji Pratiwi
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menjelaskan langkah Pertamina dalam mencapai target NZE di 2060 pada ASEAN Indo-Pacific Forum (AIPF), Rabu (6/9/2023).
Foto: Republika/Intan Pratiwi
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menjelaskan langkah Pertamina dalam mencapai target NZE di 2060 pada ASEAN Indo-Pacific Forum (AIPF), Rabu (6/9/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengungkapkan, terdapat sejumlah tantangan dalam pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia yang tengah diupayakan pemerintah. Adapun, kendala terbesar adalah soal harga yang jauh lebih mahal dibandingkan bahan bakar fosil. 

Nicke menuturkan, hal tersebut menjadi dilema yang dihadapi Indonesia di dalam upaya pengembangan EBT. Namun di sisi lain, negara-negara di dunia telah mendorong penyediaan energi ramah lingkungan dengan harga yang murah. 

Baca Juga

Kendati demikian, Nicke menegaskan, persoalan harga yang mahal lantas tidak menyurutkan upaya Pertamina dalam mengembangkan energi terbarukan. 

“Ketika kita berbicara tentang bahan bakar karbon, atau energi baru dan terbarukan, keseimbangan harga selalu menjadi prioritas utama kita terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia, bahkan mungkin di negara maju," kata Nicke dalam gelaran Indonesia Sustainability Forum (ISF) di Hotel Park Hyatt, Jakarta, Kamis (7/9/2023).

Nicke pun mengungkapkan, faktor utama yang membuat harga EBT mahal akibat kemampuan teknologi yang masih belum memadai. Alhasil, tingkat produktivitas menjadi rendah yang berimbas pada tingginya harga. 

Meski demikian, Nicke menilai, seiring berkembangnya teknologi akan mampu mengurangi belanja modal perusahaan dalam memproduksi energi terbarukan. 

Hal tersebut sudah terjadi dalam pengembangan teknologi energi surya maupun tenaga angin. 

"Kita dapat melihat bahwa teknologi solar panel dan teknologi tenaga angin selama lima hingga 10 tahun terakhir (biaya produksinya) dapat dikurangi sekitar 80 persen dan itu bahan bakar rendah karbon," ujar Nicke. 

Selain teknologi, terdapat kendala dalam hal pengembangan ekosistem EBT. Pengembangan energi terbarukan harus diikuti ekosistem yang lengkap dari hulu ke hilir, dari mulai pasokan bahan baku, sistem distribusi, hingga konsumen dari energi tersebut. 

"Misalnya, tantangan distribusi hidrogen yang ramah lingkungan, bagaimana mendistribusikan hidrogen hijau ini. Ini juga tentang skala ekonomi. bisnis memerlukan skala ekonomi untuk memulainya, oleh karena itu diperlukan regulasi untuk menciptakan permintaan," jelas Nicke. 

Adapun faktor terakhir yakni kepedulian masyarakat dalam penggunaan energi bersih. Ia mengatakan, perlu aa upaya untuk mendorong pemahaman publik, baik dalam hal ini produsen maupun konsumen, agar memahami pentingnya penggunaan energi terbarukan.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement