Jumat 25 Aug 2023 18:15 WIB

Rawan Dipolitisasi, PUPR Bahas Data Backlog Perumahan dengan BPS

Kementerian PUPR tengah meninjau ulang data backlog perumahan nasional.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Ahmad Fikri Noor
Pekerja menyelesaikan pembangunan rumah bersubsidi di Kawasan Ciseeng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (7/2/2023).
Foto: Republika/Prayogi
Pekerja menyelesaikan pembangunan rumah bersubsidi di Kawasan Ciseeng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (7/2/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tengah meninjau ulang data backlog perumahan nasional yang tembus hingga 12,75 juta rumah yang dinilai belum sesuai dengan kebutuhan riil penduduk. Hal itu pun lantas membuka potensi adanya politisasi data menjelang Pemilu 2024 untuk kepentingan golongan tertentu. 

Direktur Perumahan Kementerian PUPR, Iwan Suprijanto mengatakan, data backlog perumahan yang dimiliki pemerintah saat ini dirilis oleh Badan Pusat Statistik. Namun, menurutnya, data backlog masih perlu diluruskan karena masih adanya perbedaan persepsi terhadap angka backlog

Baca Juga

“Saya sangat khawatir sekali ini jadi kepentingan tertentu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan karena kaitannya dengan kepemilikan (rumah) sangat relatif. Karena ini masuk tahun politik, saya tidak mau itu dipolitisasi,” kata Iwan dalam media briefing di Jakarta, Jumat (25/8/2023). 

Perbedaan yang dimaksud yakni terkait antara status kepemilikan dan penghunian penduduk. Iwan menjelaskan, penduduk yang telah keluar dari tanggung jawab orang tuanya dan dimasukkan ke dalam data backlog rumah tak seluruhnya membutuhkan hunian baru. Sebab, bisa jadi penduduk tersebut telah memiliki peninggalan warisan dari orang tua berupa rumah yang siap ditempati. 

“Misalnya, saya anak tunggal di rumah, ketika keluar dari tanggung jawab orang tua, lulus kuliah langsung dihitung butuh rumah. Padahal, saya pewaris tunggal, rumah orang tua saya, ya rumah saya,” ujarnya. 

Iwan menjelaskan, berdasarkan sejumlah survei properti tahun ini, banyak generasi milenial yang tidak fokus pada kepemilikan rumah. Sebagian justru memilih untuk menyewa apartemen. 

Mereka yang tidak fokus untuk memiliki rumah juga berasal dari kalangan pekerja informal namun dengan pendapatan yang besar. Hal itu seperti content creator, programmer, hingga pekerja lepas. 

“Jadi, kalau sakit itu obatnya harus tahu benar. Berapa rumah tidak layak huni, berapa backlog, dan apakah ini terkait kepemilikan atau penghunian,” katanya. 

Di sisi lain, Iwan juga menyinggung jika 12,7 juta backlog itu berarti harus diatasi dengan pembangunan rumah dengan jumlah tersebut, tentunya membutuhkan lahan yang sangat luas. Sementara, pemerintah juga tengah menjaga lahan-lahan pertanian yang digunakan sebagai basis produksi pangan. 

Melihat dari adanya permasalahan data backlog itu, Iwan mengatakan akan segera membahas data backlog lebih lanjut dengan BPS. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement