REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana pembentukan PalmCo diharapkan dapat berperan besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi sebagai Agent of Development yang memperkuat industri sawit nasional. Menteri Pertanian periode 2000-2004 Prof Bungaran Saragih mengatakan, tidak hanya menggerakkan pertumbuhan ekonomi, tapi rencana pembentukan PalmCo juga memiliki potensi untuk membantu menciptakan pemerataan hasil perekonomian yang berkelanjutan.
Namun, jelasnya, kondisi itu hanya akan dapat dicapai jika PalmCo yang menurut rencana nantinya merupakan Sub Holding PTPN Group di bisnis kelapa sawit dipertegas posisinya sebagai Agent of Development atau lembaga yang mengerahkan dana untuk pembangunan ekonomi rakyat.
"Satu-satunya justifikasi PalmCo dalam perekonomian adalah jika perannya dipertegas sebagai Agent of Development. Sehingga, pemerintah dapat ikut mengendalikan strategi bisnis perusahaan untuk kepentingan rakyat," tegas Prof Bungaran, Ketua Dewan Pembina Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) dalam keterangannya yang diterima Republika.co.id, Selasa (22/8/2023).
Indonesia, menurutnya, masih membutuhkan Agent of Development di bidang kelapa sawit. Pasalnya. negara ini bukan lagi hanya sebagai produsen terbesar, tapi juga konsumen produk sawit terbesar di dunia.
“Kita bukan hanya perusahaan sawit terbesar di dunia, tetapi juga konsumen sawit terbesar di dunia, seperti minyak goreng, biodiesel dan lain-lain itu. Tentu untuk ini masih diperlukan kebijakan pemerintah untuk mengaturnya,” ujar Prof Bungaran.
Dia mengatakan, kurang tegasnya peran PTPN selama ini sebagai agent of development untuk sawit, menjadikan Pemerintah kewalahan jika terjadi lonjakan harga sawit di luar negeri, seperti yang terjadi tahun lalu di awal Perang Ukraina-Rusia.
"Bukan seperti sekarang ini, kalau ada gejolak harga di luar negeri, kewalahan Pemerintah mengamankan persediaan di dalam negeri. Kewalahan gitu. Kalau ada PalmCo kan tinggal diperintahkan saja, sediakan anggarannya," tambahnya.
Lebih jauh, dia mengatakan, tuntutan terhadap PalmCo saat ini, tidak hanya harus mampu menjadi Agent of Development untuk on-farm, tapi juga sampai ke downstream. Hal ini sejalan dengan program hilirisasi yang tengah dijalankan Pemerintah.
"Jadi PalmCo sebagai agent of development membantu petani dan membantu konsumen di dalam negeri. Bahkan, lebih spesifik lagi, PalmCo bisa ditugaskan membuat minyak goreng merah, misalnya, supaya tidak terjadi avitaminosis (kondisi kronis yang terjadi ketika tubuh kekurangan satu atau beberapa vitamin esensial dalam darah-red)," ujar Prof. Bungaran.
Dari sisi produsen, katanya, PalmCo masih dibutuhkan untuk mendampingi petani rakyat yang menguasai lebih dari 40 persen lahan sawit nasional atau lebih dari 6 juta hektare. Jauh lebih luas dari pada lahan sawit PalmCo yang akan dibentuk.
"Jadi Indonesia memang masih membutuhkan Agent of Development di bidang sawit. Untuk memastikan peningkatan kualitas lahan sawit plasma, juga untuk memastikan kebutuhan minyak goreng atau nanti ke depan biodiesel masyarakat tersedia," jelasnya.
Dia meyakini potensi PalmCo menjadi Agent of Development sawit besar. Contohnya, PTPN pernah ditugaskan mengembangkan petani plasma dengan bantuan kredit dari luar negeri. Perusahaan swasta yang muncul belakangan juga belajar dari PTPN.
Dengan demikian, lanjutnya, penilaian kinerja PalmCo tidak hanya berdasarkan keuntungan, tetapi yang utama adalah berdasarkan dampak perusahaan terhadap perekonomian masyarakat dan juga perekonomian nasional.
Lebih jauh, dia mengemukakan, Indonesia, tidak bisa serta merta meniru strategi bisnis BUMN sawit Malaysia dan Singapura. Karena, kedua negara itu tidak memiliki petani plasma dan konsumen berpenghasilan rendah sebanyak di Indonesia.
"Jadi, Indonesia harus cari jalan sendiri. Jadi Agent of Development baru ada justifikasinya. Kalau petani rakyat yang jumlahnya lebih dari 6 juta bisa bersatu membentuk koperasi atau bentuk lain juga sangat bisa mendukung kinerja PalmCo lebih besar lagi," ujarnya.