REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencatat fenomena perubahan iklim yang terus terjadi dalam beberapa tahun terakhir turut menyebabkan dampak kerugian ekonomi yang besar bagi Indonesia. Kepala Bappenas, Soeharso Monoarfa menyampaikan, tanpa adanya intervensi kebijakan dalam mengatasi perubahan iklim, kerugian ekonomi yang ditelan Indonesia bisa mencapai Rp 544 triliun untuk kurun waktu 2020-2024 mendatang.
Potensi kerugian bersumber dari masalah yang terjadi pada pesisir dan laut senilai Rp 408 triliun, kemudian air senilai Rp 28 triliun, pertanian Rp 78 triliun, serta sektor kesehatan Rp 31 triliun.
“Dari perubahan iklim ini, terdapat potensi kejadian kecelakaan kapal dan genangan pantai, penurunan ketersediaan air, penurunan produksi beras, hingga peningkatan kasus demam berdarah,” kata Soeharso dalam Dialog Nasional Antisipasi Dampak Perubahan Iklim di Jakarta, Senin (21/8/2023).
Masalah yang terjadi di pesisir laut paling banyak menelan kerugian. Soeharso menyampaikan, rata-rata kenaikan muka air laut Indonesia saat ini berkisar 0,8-1,2 centimeter per tahun. Jika dibiarkan sebanyak 199 kabupaten kota dan 23 juta masyarakat pesisir akan terendam banjir rob pada tahun 2050 mendatang. Selain itu, sekitar 118 hektare wilayah akan terendam banjir dengan potensi kerugian hingga Rp 1.576 triliun.
Bappenas juga mencatat sepanjang tahun 2022 sedikitnya ada 3.544 kejadian bencana alam akibat perubahan iklim. Dari jumlah itu, sekitar 98-99 persen merupakan kejadian bencana hidrometeorologi. Adapun jumlah kematian akibat bencana hidrometeorologi dalam 10 tahun terakhir mencapai 1.183 orang.
Soeharso mengatakan, Bappenas saat ini tengah menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Di mana, dalam RPJN tersebut ketahanan terhadap bencana dan perubahan iklim menjadi salah satu tujuan prioritas nasional Indonesia ke depan.
Untuk itu, diperlukan berbagai upaya berkelanjutan khususnya di sektor pangan, energi, dan sektor kesehatan agar Indonesia memiliki ketahanan terhadap dua isu utama yang menjadi kekhawatiran dunia tersebut.
“Arah kebijakan ini juga akan menjadi pedoman untuk pembangunan infrastruktur kewilayahan,” katanya.