REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Co-Head Global Macro Strategy Manulife Aset Management Sue Trinh menyebut inflasi menjadi salah satu risiko yang menahan laju pertumbuhan ekonomi Asia Pasifik. Menurut konsensus inflasi akan mencapai 4,4 persen secara tahunan di 2023.
"Perkiraan pertumbuhan ekonomi Asia Pasifik berada di bawah rata-rata dan di bawah tren sebelum Covid-19, dan itu karena berbagai risiko dalam jangka pendek seperti inflasi, El Nino, dan puncak peningkatan suku bunga acuan bank sentral AS, The Fed," katanya dalam Media Briefing daring, Selasa (11/7/2023).
Perekonomian Asia juga menghadapi risiko dari ketidakpastian lain terkait stabilitas keuangan, hambatan dari China, dan pelonggaran kebijakan bank sentral yang belum pasti kapan dimulai.
Namun demikian, ia memandang inflasi yang mulai terkendali tidak lagi menjadi momok besar dan berpotensi membuat bank sentral beberapa negara di Asia mulai membuat kebijakan yang mengerek aktivitas perekonomian dan tidak lagi hanya berfokus pada pengendalian inflasi.
"Beberapa fundamental makro lain dan cadangan devisa yang lebih tinggi yang dimiliki beberapa negara Asia lain, juga menjadi potensi pertumbuhan ekonomi Asia," katanya pula.
Di samping itu, deglobalisasi, bonus demografi, dan upaya dekoarbonisasi di Asia juga berpotensi menarik masuk lebih banyak peluang perdagangan dan investasi ke wilayah ini. Hal itu ditopang oleh kebijakan pemerintah di beberapa negara Asia yang melakukan reformasi untuk meningkatkan kemudahan berbisnis.
"Dengan kebijakan yang tepat banyak negara akan dapat membalikkan dinamika Produk Domestik Bruto (PDB) yang semakin di bawah, dan kami memandang ekonomi Asia Selatan dan Asia Tenggara sebagai penerima manfaat utama," katanya lagi.