Kamis 06 Jul 2023 14:59 WIB

Peragi: El-Nino Bakal Tekan Produksi Beras, Siapkan Mitigasi

Puncak El Nino kemungkinan akan terjadi pada bulan Agustus.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Kemarau ekstrem El-Nino yang akan memasuki puncak pada semester kedua 2023 diyakini bakal mempengaruhi tingkat produksi gabah hingga beras dalam negeri.
Foto: Kementan
Kemarau ekstrem El-Nino yang akan memasuki puncak pada semester kedua 2023 diyakini bakal mempengaruhi tingkat produksi gabah hingga beras dalam negeri.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Kemarau ekstrem El-Nino yang akan memasuki puncak pada semester kedua 2023 diyakini bakal mempengaruhi tingkat produksi gabah hingga beras dalam negeri. Perhimpunan Agronomi Indonesia (Peragi) meminta pemerintah untuk menyiapkan mitigasi secara tepat demi meminimalisasi dampak yang dapat ditimbulkan. 

Ketua Umum Peragi, Andi Muhammad Syakir, mengatakan, anomali iklim secara langsung akan berdampak pada performa produksi pertanian di Indonesia, tak terkecuali beras. Di saat bersamaan, surplus produksi beras terhadap konsumsi cukup kecil sehingga Indonesia tak memiliki ruang cadangan beras yang besar. 

Baca Juga

“El Nino yang berat dan sedang pasti berdampak ke produksi. Cuma sejauh mana dampaknya? Ini yang perlu kita lihat. Anomali iklim ini juga sudah sering terjadi di Indonesia. Musim kemarau (biasa) saja berpengaruh,” kata Syakir dalam Focus Group Discussion Peragi di Bogor, Kamis (6/7/2023). 

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyampaikan puncak El Nino kemungkinan akan terjadi pada bulan Agustus mendatang dengan level lemah hingga sedang. 

Meski demikian, intensitas anomali iklim kering di setiap daerah bakal memiliki level berbeda. Oleh karena itu, Syakir menegaskan, tanggung jawab terhadap mitigasi El Nino harus dipahami oleh pemerintah pusat hingga lokal. 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi gabah kering panen (GKP) dalam tiga tahun terakhir memang surplus dengan level fluktuatif. Pada 2020 lalu, produksi GKP mencapai 54,6 juta ton lalu 2021 turun menjadi 54,4 juta ton dan kembali naik menjadi 54,7 juta ton tahun 2022 lalu. 

Meski demikia, kata Syakir, pencapaian surplus produksi dengan iklim yang relatif baik nyatanya belum memperlihatkan peningkatan signifikan. “Dengan mitigasi adaptasi yang tepat, pemerintah paling tidak harus mampu mempertahankan produksi nasional karena jumlah penduduk yang terus meningkat,” ujarnya. 

Tantangan peningkatan konsumsi pun harus dipikirkan pemerintah. Meski ia meyakini laju pertambahan konsumsi beras tidak akan signifikan. Karenanya, kampanye diversifikasi pangan yang dijalankan Badan Pangan Nasional perlu terus dilakukan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap beras sebagai pangan pokok. 

Syakir menambahkan, upaya-upaya mitigasi seperti perbaikan irigasi hingga pemetaan wilayah lahan rawa memang telah dilakukan pemerintah. Namun, yang masih menjadi tugas pemerintah yakni sejauh mana strategi tersebut dapat meyakinkan pasar perberasan agar tidak terjadi gejolak sekaligus menyiapkan petani menghadapi kemarau ekstrem. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement