REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pembentukan task force atau satuan tugas khusus oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak untuk mengawasi wajib pajak grup dan high wealth individual alias crazy rich mendapat dukungan. Kebijakan tersebut dinilai sebagai langkah maju untuk aspek keadilan dan pemerataan dalam kontribusi wajib pajak terhadap pendapatan negara.
“Kami menilai langkah pembentukan Satgas Pengawasan terhadap wajib pajak grup dan high wealth individual ini merupakan langkah maju. Kami berharap dengan pembentukan satgas, aspek keadilan dan pemerataan dalam kontribusi wajib pajak bisa terealisasi. Di sisi lain, langkah ini tentunya diharapkan bisa meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak,” ujar Wakil Ketua Komisi XI DPR Fathan Subchi dalam keterangannya, Rabu (5/7/2023).
Dia mengatakan, selama ini kontribusi pajak dari sektor individu relatif kecil. Pada 2022, misalnya, pemasukan dari sektor ini 'hanya' sekitar Rp 11 triliun atau sekitar 0,7 persen dari total penerimaan pajak negara. Di sisi lain, terungkap fakta bahwa jumlah orang superkaya di Indonesia cukup besar.
“Saat ini banyak kita jumpai dari berbagai kanal media sosial betapa banyak crazy rich yang tak segan menunjukkan gaya hidup mewah mereka di berbagai kanal media sosial,” katanya.
Politikus PKB ini menegaskan, pembentukan Satgas Pengawasan terhadap wajib pajak grup dan high wealth individual atau wajib pajak badan dan individu dengan kekayaan tinggi dibutuhkan karena ada perbedaan karakteristik jika dibandingkan dengan wajib pajak orang pribadi (WPOP). Para crazy rich umumnya memiliki passive income, memiliki investasi di luar negeri (termasuk tax haven), dan memiliki koneksi politik.
“Dengan akses ini mereka mampu merencanakan pengurangan pajak (tax planning). Maka, langkah Ditjen Pajak membentuk Satgas khusus ini memang sudah waktunya,” ujarnya.
Kendati demikian, Fathan meminta perbaikan pada basis data wajib pajak, terutama untuk high wealth individual. Langkah ini dibutuhkan untuk mengoptimalkan langkah hukum yang dibutuhkan jika mereka mencoba menghindari kewajiban pajak.
“Karena selama ini kelemahan pengawasan pajak ada pada basis data sehingga wajib pajak dari kelompok tertentu bisa melakukan penghindaran kewajiban pajak mereka,” katanya.
Legislator Jawa Tengah II ini menyarankan agar ada integrasi nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan nomor induk kependudukan (NIK). Seluruh perusahaan di Tanah Air juga mencatat beneficial owner di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dan kemudian mengintegrasikannya dengan Ditjen Pajak.
“Dengan demikian, basis data yang digunakan untuk pengawasan dapat terjaga dengan baik,” ujar Fathan.