Ahad 02 Jul 2023 07:09 WIB

Sri Mulyani: Butuh Kerja Sama Global untuk Mengatasi Perubahan Iklim

Banyak negara berkembang memiliki keterbatasan dalam pendanaan perubahan iklim.

Rep: Novita Intan/ Red: Lida Puspaningtyas
Menteri Keuangan, Sri Mulyani (kanan) di sela-sela New Global Financial Pact Summit di Paris.
Foto: AP Photo/Ludovic Marin, Pool via AP
Menteri Keuangan, Sri Mulyani (kanan) di sela-sela New Global Financial Pact Summit di Paris.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menyebut saat ini dunia membutuhkan kerja sama global untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Hal ini disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani saat menghadiri rangkaian kegiatan dalam Paris Summit 2023 yang dipimpin oleh Prancis serta India selaku Presidensi G20 2023.

“Dalam menghadapi perubahan iklim, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Dibutuhkan kerja sama global untuk menghadapi tantangan ini, baik dari sisi pembiayaan, teknologi, dan keahlian untuk mencapai transisi yang adil dan terjangkau bagi semua,” ujarnya dalam keterangan tulis, Ahad (2/7/2023).

Baca Juga

Sri Mulyani menghadiri sejumlah sesi diskusi termasuk High-Level Roundtable Discussion on Private Capital Mobilization for Climate Investments in Emerging Markets and Developing Countries (EMDCs) dalam rangkaian pertemuan Paris Summit 2023. Ia menyampaikan, saat ini banyak negara berkembang memiliki keterbatasan dalam pendanaan perubahan iklim.

Ia membagikan pengalaman Indonesia terkait kemajuan dan tantangan implementasi program transisi energi atau Energy Transition Mechanism (ETM) Country Platform yang telah diluncurkan pada Presidensi G20 Indonesia tahun lalu, sebagai bentuk capaian dan pembelajaran bersama terutama untuk mendukung transformasi ekonomi. Meski demikian, Sri Mulyani menyampaikan masih terdapat sejumlah tantangan dalam menjalankan transisi energi di Indonesia.

“Beberapa tantangan transisi energi, antara lain biaya pinjaman (cost of borrowing) yang masih tinggi dan kebutuhan investasi energi yang tinggi yang melibatkan sektor publik dan swasta,” ucapnya.

Maka itu, dia menegaskan diperlukan dukungan sistem keuangan global termasuk bank pembangunan multilateral dalam mengatasi kesenjangan pembiayaan (financing gap) terutama untuk negara berkembang. Selain itu, langkah konkret dari negara maju sangat dibutuhkan untuk membantu pendanaan aksi iklim, termasuk melalui pemenuhan komitmen sebesar 100 miliar dolar AS per tahun yang hingga saat ini masih belum terpenuhi.

Di samping itu, diperlukan antisipasi dampak perubahan iklim dengan intensitas lebih tinggi yang berbahaya dan mengakibatkan kehilangan dan kerusakan (loss and damage) baik pada alam maupun manusia.

“Berbagai upaya dan antisipasi yang dapat dilakukan, misalnya  meningkatkan kapasitas bank pembangunan multilateral dan lembaga keuangan, termasuk memprioritaskan fasilitas hibah dan concessional financing lainnya,” ucapnya.

Paris Summit 2023 dihadiri oleh sejumlah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan dari Afrika Tengah, Arab Saudi, Armenia, Barbados, Benin, Bulgaria, Comoros, Gabon, Ghana, Ghana, Kamerun, Kenya, Rep. Kepulauan Seychelles, Kongo, Kroatia, Kuba, Mauritania, Mesir, Nigeria, Pakistan, Rep. Kepulauan Seychelles, Senegal Srilanka, Timor Leste, Togo, Tunisia, Zambia, Komisi Eropa, Dewan Eropa, Bank Sentral Eropa, dan Presiden African Union.

Sejumlah pimpinan lembaga internasional juga hadir di antaranya Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa, Presiden Bank Dunia, Direktur Dana Moneter Internasional, Bank, Sekretaris Jenderal OECD, dan sejumlah lembaga lainnya. Pertemuan Paris Summit 2023 juga dihadiri sejumlah tokoh terkemuka global dari kalangan akademisi, filantropi, maupun lembaga masyarakat sipil.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement