REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dinilai telah memiliki anak BUMN PT Aneka Tambang Tbk (Antam) yang mempunyai kapasitas dalam operasional nikel dan hilirisasi. Oleh karena itu, opsi pemerintah untuk tak memberikan perpanjangan kontrak kepada Vale Indonesia dan mengambil alih operasional Vale makin terbuka.
Pengamat ekonomi dari Core Indonesia Muhammad Ishak Razak menjelaskan, Kontrak Karya (KK) PT Vale Indonesia Tbk yang akan berakhir pada 2025, idealnya tidak perlu diperpanjang. Justru, peluang untuk dikembalikan ke negara sehingga bisa dikelola oleh BUMN, seperti Antam merupakan opsi positif.
"Dalam hal ini Antam sudah sangat berpengalaman di dalam melakukan penambangan dan smelter baik nickel pig iron dan ferronickel. Dengan demikian, proses divestasi ini tidak seperti divestasi Freeport yang selalu dikait-kaitkan dengan keterbatasan kemampuan teknis perusahaan domestik jika Freeport hengkang," ujar Ishak kepada Republika, Senin (19/6/2023).
Pengambilalihan Vale ke pemerintah juga dapat meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Sebab, dengan dikelola sendiri maka bahan baku dalam bentuk bijih nikel yang dimiliki Antam akan semakin bertambah.
"Seperti kita ketahui sebagian cadangan tersebut merupakan kualitas nikel kelas satu atau di atas 2 persen, sehingga berpotensi meningkatkan penerimaan negara melalui penerimaan dividen selain pajak dan PNBP," kata Ishak.
Ishak menambahkan, prospek nikel saat ini dan ke depannya akan sangat cerah sejalan dengan peningkatan produksi kendaraan listrik dan stainless steel. Dengan target ini mestinya pemerintah mengambil penuh hak kelola dari lumbung nikel dunia ini.
"Alasan kenapa perlu divestasi, selain aspek ekonomi tadi adalah tambang nikel masuk dalam kategori barang tambang yang melimpah dan bernilai strategis sehingga harus dikelola oleh negara lewat BUMN," ujar Ishak.
Di satu sisi, kata Ishak, amanat UU Minerba dalam penguasaan saham pemerintah sebesar 51 persen, tak cukup hanya dengan menyerap 11 persen saham yang dianggap tersisa saat ini. Sebab, menurut Ishak, 20 persen saham yang saat ini ada di publik hanya 12 persen saja yang dikuasai oleh publik domestik.
"Saham yang dilepas di pasar modal kepemilikannya sangat fluktuatif sehingga bisa saja diborong oleh investor asing sehingga kepemilikan domestik terdilusi," ujar Ishak.