Senin 05 Jun 2023 22:09 WIB

Sri Mulyani Waspadai Data PMI Manufaktur yang Anjlok 

PMI Manufaktur Indonesia turun dari 52,7 pada April 2023 menjadi 50,3 pada Mei 2023.

Rep: Novita Intan/ Red: Ahmad Fikri Noor
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati
Foto: EPA-EFE/MADE NAGI
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mewaspadai Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur yang menunjukkan kinerja melemah. Data terbaru menunjukkan PMI berada pada level 50,3 pada Mei 2023 atau lebih rendah dari indeks April 2023 sebesar 52,7.

“Harus kita lihat secara hati-hati, PMI baru saja keluar 50,3. Ini melemah dibandingkan bulan lalu yang di atas 52,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR, Senin (5/6/2023).

Baca Juga

Sebelumnya, PMI manufaktur Indonesia menguat ke level 51,9 pada Maret 2023 setelah melambat pada Februari 2023 berada level 51,2. Meski demikian, Sri Mulyani menyebut indeks tersebut masih mencatatkan Indonesia berada zona ekspansif tapi menjadi level yang terendah sejak November 2022.

“Kita masih ekspansi. Kalau kita lihat negara lain yang kontraksi, bahkan Vietnam yang selama ini kuat juga dalam posisi kontraktif PMI-nya,” ucapnya.

 

Sri Mulyani juga menyebut saat ini perekonomian Indonesia masih dalam taraf yang ekspansif. Hanya saja perlu berhati-hati dengan risiko dari dinamika perekonomian global.

“Perekonomian kita masih ekspansif. Dari satu sisi tetap optimistis, tapi di sisi lain tetap harus hati-hati karena memang risikonya cukup nyata,” ucapnya.

Menurut Sri Mulyani pertumbuhan ekonomi mitra dagang masih tertekan, khususnya Amerika Serikat dan Eropa. China mengalami pertumbuhan yang moderat sebesar 3 persen pada kuartal I 2023 atau lebih rendah dari perkiraan sebelumnya ketika mereka membuka kembali perekonomian dan mobilitas masyarakatnya.

Sri Mulyani menyebut China berencana memformulasikan kebijakan baru untuk mendongkrak kembali perekonomiannya, terutama yang berkaitan sektor properti. Dia berharap kebijakan baru tersebut dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi China, dunia, serta Indonesia. 

“Perekonomian China yang tertahan membuat permintaan komoditas ke Indonesia turut melemah, sehingga kinerja ekspor dan impor mulai menunjukkan kecenderungan yang terkoreksi,” ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement