Rabu 24 May 2023 12:33 WIB

Saham Emiten Batu Bara Melorot Sejak Awal Tahun, Ada Apa?

Saham emiten batu bara sudah tidak lagi membara seperti tahun lalu.

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Ahmad Fikri Noor
Kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Barito, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, Kamis (5/1/2023). Saham emiten batu bara sudah tidak lagi membara seperti tahun lalu. Sejak awal 2023, pergerakan saham komoditas andalan Indonesia tersebut cenderung melemah seiring normalisasi harga batu bara dunia.
Foto: ANTARA/Bayu Pratama S
Kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Barito, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, Kamis (5/1/2023). Saham emiten batu bara sudah tidak lagi membara seperti tahun lalu. Sejak awal 2023, pergerakan saham komoditas andalan Indonesia tersebut cenderung melemah seiring normalisasi harga batu bara dunia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saham emiten batu bara sudah tidak lagi membara seperti tahun lalu. Sejak awal 2023, pergerakan saham komoditas andalan Indonesia tersebut cenderung melemah seiring normalisasi harga batu bara dunia. 

Sebut saja PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO). Harga sahamnya hari ini, Rabu (24/5/2023), bertengger di level 2.240. Posisi tersebut mencerminkan penurunan sebesar 42 persen secara year to date dari level 3.650 dan hanya sedikit di atas level terendah 2.220.

Baca Juga

Nasib serupa juga dialami emiten pelat merah PT Bukit Asam Tbk. Sejak awal tahun, perusahaan dengan kode saham PTBA tersebut juga mengalami koreksi yang cukup tajam sebesar 15,72 persen. Saat ini, PTBA bergerak di kisarakan 3.110-3190 dari yang sebelumnya sempat mencapai 4.200.

Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Rizkia Darmawan mempertahankan pandangan Netral terhadap sektor batu bara dalam negeri. Meski trennya menurun, Rizkia melihat penurunan harga batu bara dunia mengalami perlambatan dipicu oleh penyesuaian pasokan dan permintaan global untuk batu bara.

Rizkia memperkirakan permintaan dari China akan meningkat di tengah konsumsi energi yang diperkirakan lebih tinggi. "Hal ini seiring dengan perbaikan aktivitas manufaktur dan kenaikan konsumsi energi rumah tangga selama musim panas," kata Rizkia dalam risetnya, pekan lalu. 

Peningkatan permintaan ini juga berkaitan dengan keputusan China menghentikan operasi di 32 lokasi produksi batu bara di Mongolia menyusul kecelakaan fatal pada Februari lalu. Dengan penghentian produksi dan ekspansi sekitar 50 juta ton, Rizkia melihat permintaan pasokan energi China akan terus meningkat.

Di sisi lain, China telah mencabut larangan impor batu bara dari Australia. Rizkia memperkirakan pasokan dari Australia akan meningkat. Meski demikian, emiten batu bara besar di Indonesia, yang masuk dalam pemantauan Mirae Asset Sekuritas, akan terus meningkatkan produksi untuk memonetisasi potensi permintaan dari China.

Dari sisi kinerja, Rizkia melihat, emiten batu bara dalam negeri terbebani oleh biaya pendapatan yang lebih tinggi. Faktor utamanya adalah biaya royalti pemerintah yang lebih tinggi dan biaya penambangan yang meningkat. 

Secara keseluruhan, Rizkia percaya masih akan ada ruang untuk peningkatan volume penjualan yang berasal dari permintaan ekspor dari China. "Namun, harga jual rata-rata (ASP) yang kembali normal dan biaya pendapatan yang lebih tinggi tahun ini akan dapat menghambat perusahaan batu bara," ujar Rizkia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement