REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harga saham PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) terus melorot menuju Rp 50 per lembar. Pada penutupan perdagangan Jumat (19/5/2023), harga saham Garuda bertengger di level Rp 51 per lembar atau terkena auto rejection bawah (ARB) karena longsor 5,56 persen dibanding hari sebelumnya.
Jika dibandingkan harga sejak awal tahun atau year to date, saham Garuda sudah anjlok 75 persen. Kala itu, saham maskapai penerbangan pembawa bendera merah putih juga baru dibuka dari suspensi dan sempat berada di level Rp 224 per lembar.
Sentimen positif belum banyak menaungi perkembangan saham emitan berkode GIAA tersebut. Pada tiga bulan pertama tahun ini, Garuda masih mencetak rugi meskipun secara pendapatan sudah mengalami perbaikan.
Garuda secara grup membukukan perbaikan kinerja pada kuartal I 2023. Pendapatan usaha perseroan tumbuh hingga 72 persen dan rugi bersih mengalami penyusutan.
Selama tiga bulan pertama tahun ini, Garuda mencetak pendapatan usaha sebesar 602,99 juta dolar AS yang juga setara Rp 8,86 triliun. Perolehan tersebut meningkat dibandingkan kuartal I 2022 yang sebesar 350 juta dolar AS.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan, pertumbuhan pendapatan usaha ini selaras dengan peningkatan trafik penumpang pada kuartal I 2023. "Jumlahnya mencapai 4,5 juta penumpang atau tumbuh sekitar 60 persen jika dibandingkan periode yang sama pada kuartal I 2022 sebesar 2,7 juta penumpang," kata Irfan dalam keterangannya, Kamis (4/5/2023).
Pertumbuhan pendapatan usaha Garuda Indonesia pada kuartal I 2023 ditunjang oleh capaian pendapat penerbangan berjadwal 506,82 juta dolar AS yang tumbuh 87 persen. Komposisi pendapatan lainnya tumbuh sebesar 50 persen menjadi 83,35 juta dolar AS.
Hingga Maret 2023, Garuda Indonesia turut mencatatkan pertumbuhan EBITDA hingga 92 persen menjadi 71 juta dolar AS. Angka ini membaik dibandingkan dengan EBITDA pada periode yang sama di tahun 2022 sebesar 37 juta dolar AS.
Pada kuartal I 2023, Garuda Indonesia juga mencatatkan penurunan rugi bersih sebesar 50,91 persen menjadi 110,03 juta dolar AS atau Rp 1,61 triliun dari kuartal I 2022 sebesar 224,14 juta dolar AS atau Rp 3,3 triliun. Pencatatan rugi bersih ini dipengaruhi oleh penerapan standar akuntansi PSAK 73 yang mengatur tentang pembukuan transaksi sewa pada beban operasi.
"Terlepas dari adanya penerapan PSAK tersebut, Garuda Indonesia secara fundamental operasional kinerja terus mencatatkan kinerja yang positif. Hal ini terlihat dari sejumlah indikator penting pada kinerja usaha baik dari sisi EBITDA, cash flow hingga peningkatan trafik penumpang," ujar Irfan.
Garuda Indonesia pada akhir Maret 2023 lalu juga telah menyelesaikan pemenuhan kewajiban terhadap kreditur yang termasuk dalam klasifikasi kreditur dengan nilai tagihan hingga Rp 255 juta. Penyelesaian kewajiban Garuda Indonesia tersebut telah dirampungkan terhadap 254 kreditur yang memiliki nilai tagihan hingga Rp 255 juta, dengan total nilai tagihan yang dibayarkan mencapai hingga Rp 15,43 miliar.