REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Maskapai penerbangan Emirates mengumumkan laba sebesar 10,6 miliar dirham UEA (2,92 miliar dolar AS atau sekitar Rp 42,9 triliun) untuk tahun keuangan 2022-2023.
Capian itu menandai tahun paling menguntungkan, setelah Emirates mengalami kerugian sebesar 3,9 miliar dirham pada tahun sebelumnya. Pendapatan naik 81 persen menjadi 107,4 miliar dirham yang ditopang pemulihan rute penerbangan global dan menarik lebih banyak penumpang.
Emirates Group melaporkan pendapatan sebesar 119,8 miliar dirham, meningkat 81 persen karena permintaan pelanggan yang kuat di seluruh dunia. Terlebih, hampir semua pembatasan perjalanan dicabut.
Mengumumkan hasil kinerja, CEO Grup Emirates Sheikh Ahmed bin Saeed Al Maktoum menyebut kinerja keuangan perusahaan sebagai rekor dan pencapaian yang luar biasa. "Hasil yang kuat ini memungkinkan kami untuk membayar kembali utang sebesar 3,0 miliar dirham yang kami ambil selama krisis Covid-19," kata Al Maktoum dilansir Zawya, Kamis (11/5/2023).
Emirates juga membagi dividen sebesar 4,5 miliar dirham. Perusahaan juga menaruh alokasi untuk masa depan sebesar 7,2 miliar dirham dengan berinvestasi di pesawat baru, fasilitas, peralatan, teknologi, dan pengembangan SDM.
"Investasi ini akan membantu memastikan kami memiliki merek, produk, layanan, dan kemampuan terbaik untuk memenangkan preferensi pelanggan dan mempertahankan kepemimpinan pasar kami," ujar Al Maktoum.
Penyedia layanan udara dan pengelola bagasi DNata, bagian dari Emirates Group, memperoleh laba 331 juta dirham pada 2022-2023, naik dari 110 juta dirham pada tahun sebelumnya. Pendapatan DNAta naik 74 persen menjadi 14,9 miliar dirham.
Grup memiliki saldo kas sebesar 42,5 miliar dirham untuk tahun tersebut. Perusahaan juga mempekerjakan 17.160 karyawan baru sehingga jumlah tenaga kerjanya menjadi 102.379 per 31 Maret 2023.
Al Maktoum mengatakan, Emirates memasuki 2023-2024 dengan prospek positif yang kuat dan berharap Grup tetap menguntungkan. "Kami akan bekerja keras untuk mencapai target kami sambil terus mencermati inflasi, harga bahan bakar yang tinggi, dan ketidakpastian politik dan ekonomi," kata dia.