Senin 20 Mar 2023 16:06 WIB

Pengamat Usul PPh Tinggi untuk Penjualan Pakaian Bekas

Pemerintah diminta periksa bisnis thrifting lebih dalam tak cuma sita dan memusnahkan

Penjual menata pakaian bekas impor di salah satu kios di Pasar Cimol Gedebage, Gedebage, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (16/3/2023). Ekonom mengusulkan agar pemerintah mengenakan pajak penghasilan (PPh) melebihi ketentuan, terhadap omzet penjualan pakaian bekas.
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Penjual menata pakaian bekas impor di salah satu kios di Pasar Cimol Gedebage, Gedebage, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (16/3/2023). Ekonom mengusulkan agar pemerintah mengenakan pajak penghasilan (PPh) melebihi ketentuan, terhadap omzet penjualan pakaian bekas.

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Pengamat ekonomi Universitas Pendidikan Nasional Denpasar, Bali, Prof Ida Bagus Raka Suardana mengusulkan agar pemerintah mengenakan pajak penghasilan (PPh) melebihi ketentuan, terhadap omzet penjualan pakaian bekas.

"Bila perlu pajak ditinggikan agar bersaing dengan produk lokal," kata Raka Suardana, di Denpasar, Senin (20/3/2023).

Baca Juga

Selain itu, ia mengusulkan agar pemerintah memeriksa legalitas usahanya. Upaya itu dilakukan agar saat dilakukan penindakan tidak serta-merta hanya menyita dan memusnahkan pakaian bekas.

Adapun sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan, PPh final sebesar 0,5 persen untuk wajib pajak tertentu yang memiliki peredaran bruto (omzet) maksimal Rp4,8 miliar setahun.

Senada dengan Raka Suardana, pengamat ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudistira juga mengusulkan kepada pemerintah agar memberikan kompensasi kepada pedagang pakaian bekas skala kecil dan mencari solusi supaya mereka bisa beralih menjual produk lokal pakaian jadi. Sedangkan pakaian bekas yang disita pemerintah, kata dia lagi, masih bisa diberikan ke korban bencana alam dan orang miskin.

"Jangan langsung dimusnahkan, sementara banyak orang miskin tidak mampu beli baju," kata Bhima.

Upaya itu, kata dia, perlu dilakukan sebagai solusi kepada pedagang kecil karena transaksi pakaian bekas atau thrifting sudah ada di Tanah Air sejak 1990.

Menurut dia, meski pakaian bekas, tapi pasar masih berminat membeli komoditas tersebut karena produk pakaian jadi lokal kurang bersaing baik dari segi kualitas dan harga. Pemerintah, ujar Bhima lagi, bisa membantu menaikkan kualitas dan menekan biaya produksi pakaian jadi lokal dengan pembiayaan murah, pendampingan dan upaya promosi bersama.

Direktur Celios itu menambahkan, saat ini tingkat suku bunga industri tekstil yang sifatnya korporasi di atas 10 persen. Sedangkan bunga untuk UMKM bervariasi yakni ada di kisaran 15 persen-30 persen per tahun.

"Bandingkan suku bunga pinjaman di China hanya empat persen–lima persen dan Vietnam tujuh persen–delapan persen. Jadi sulit head to head karena bunga pinjaman dalam negeri mahal," ujar Bhima.

Pemerintah melarang impor pakaian bekas yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 tahun 2021 tentang barang dilarang ekspor dan impor.

 

sumber : ANTARA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement