REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perdagangan masih berupaya agar keinginan pemerintah memiliki bursa komoditas sawit Indonesia sebagai salah satu acuan harga internasional bisa berdiri. Lewat adanya bursa tersebut, harga minyak sawit Indonesia untuk ekspor pun tak perlu mengekor Malaysia.
Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Didit Noordiatmoko mengatakan, hingga saat ini pihaknya masih optimistis lembaga bursa sawit bisa berdiri pada Juni 2023 mendatang.
Setelah lembaga bursa sawit berdiri, Didit mengatakan, perdagangan sawit akan dilakukan melalui bursa sehingga akan terjadi pertemuan tawar-menawar antara pelaku usaha.
"Kita harapkan nanti akan ada money to money, jadi harga itu akan terbentuk secara transparan atau price discovery. Kita harapkan ini terbentuk dua bulan setelah sawit masuk bursa," kata Didid dalam sambutan pembuka acara Bulan Literasi Perdagangan Berjangka Komoditi di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Selasa (7/3/2023).
Lebih lanjut, Didid menambahkan, setelah price discovery bisa dicapai oleh bursa sawit, di akhir tahun bursa akan menghasilkan price reference atau referensi acuan harga sawit yang dapat dipakai baik untuk perdagangan dalam negeri maupun ekspor. Nantinya, harga acuan tersebut juga dipakai dalam menentukan bea keluar hingga pungutan ekspor oleh pemerintah.
Sejauh ini, bea keluar dan pungutan ekspor mengacu kepada harga yang ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan. Adapun harga tersebut dibuat dan mengacu kepada harga bursa sawit Rotterdam 20 persen, Bursa Berjangka Jakarta (JFX) 20 persen, Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (ICDX) 60 persen.
"Kalau sudah ada prices discovery maka akan kita bikin price reference, itu akan menjadu acuan untuk semuanya," kata Didid.