REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengungkapkan kebijakan investasi Indonesia untuk hilirisasi industri perlu diperkuat. Peneliti Indef Eisha Maghfiruha Rachbini mengatakan salahs atunya komitmen dalam energi berkelanjutan.
"Perlu lebih banyak komitmen untuk menerapkan energi berkelanjutan. Ketergantungan energi berbasis fosil masih tinggi," kata Eisha dalam Webinar Indef, Rabu (8/2/2023).
Eisha menuturkan, Indonesia perlu mengeksplorasi kemungkinan dan mekanisme untuk friendshoring. Begitu juga dengan kerangka kerja perdagangan internasional lainnya seperti Kerangka Kerja Ekonomi Indo-Pasifik (IPEF).
Dalam hilirisasi, Eisha menilai, Indonesia perlu meningkatkan produktivitas manufaktur. "Ini dilakukan untuk menghasilkan produk dengan standar dan kualitas yang lebih tinggi untuk memenuhi pasar global," jelas Eisha.
Untuk itu, Eisha menegaskan, Indonesia juga perlu lebih banyak investasi untuk menghasilkan produk ekspor yang lebih kompleks. Dengan begitu, produk tersebut lebih memiliki nilai tambah.
"Indonesia membutuhkan lebih banyak teknologi dan modal lalu harus menarik investasi," ucap Eisha.
Sebelumnya, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) memastikan kebijakan ke depan, Indonesia akan fokus pada hilirisasi. Hal itu dimulai dari hilirisasi nikel hingga target menjadi produsen baterai.
"Hilirisasi adalah harga mati. Dimana hilirisasi pendekatannya green industry dan green energy," kata Menteri Investasi/BKPM Bahlil Lahadalia.
Bahlil menegaskan, Indonesia ingin melakukan hilirisasi dalam hal penataan lingkungan dan menciptakan nilai tambah dalam kawasan pertumbuhan ekonomi baru. Selain itu juga memberikan lapangan pekerjaan layak dan berkolaborasi dengan UMKM. Rahayu Subekti