REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyatakan, investasi harus fokus ke peningkatan hilirisasi sumber daya alam. Itu demi mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Hilirisasi tentunya perlu investasi yang besar. Dari hulu ke hilir tapi harus market driven," kata Peneliti Pusat Industri Perdagangan dan Investasi Indef Ahmad Heri Firdaus dalam siaran pers, Selasa (7/2/2023).
Investasi tersebut, kata dia, harus berdampak terhadap peningkatan penyerapan tenaga kerja, nilai tambah ekonomi, substitusi impor, dan ekspor yang bernilai tambah. Maka, perlu investor pada sektor tertentu.
Ia menuturkan tantangan untuk menjaga momentum pemulihan atau pertumbuhan ekonomi menjadi semakin berat di saat ketidakpastian global meningka. Maka, Indonesia membutuhkan akselerasi ekonomi yang didasari pada perbaikan struktur dan fundamental yang kuat.
Itu diharapkan berdampak terhadap perbaikan kesejahteraan masyarakat melalui penciptaan lapangan kerja dan optimalisasi nilai tambah atau hilirisasi. "Momentum pemulihan seharusnya dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki dan memperkuat fundamental ekonomi Indonesia," ujar dia.
Dirinya melanjutkan, pertumbuhan sektor padat karya melambat pada 2022 jika dibandingkan 2019 sebelum adanya pandemi Covid-19. Ia menjelaskan, Indonesia telah mengalami pergeseran struktur atau pangsa ekonomi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebelum Covid-19 pada 2019.
"Kalau dilihat pada 2022 sektor industri kita mengalami penurunan pangsa dari sebelumnya 19,7 persen pada 2019. Kemudian saat ini 18,34 persen," ujar Heri.
Perlambatan pertumbuhan sektor padat karya tersebut, lanjutnya, tercermin antara lain dari kondisi sektor industri yang mengalami penurunan pangsa. Sementara sektor pertambangan mengalami lonjakan pangsa terhadap PDB.
Ia menuturkan pertumbuhan sektor yang padat karya relatif kecil. Bahkan sektor pertanian dan industri tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional.
Sektor Industri, pertanian dan perdagangan yang memiliki pangsa tenaga kerja 62,2 persen justru tumbuh di bawah berbagai sektor lain yang kedap terhadap penyerapan tenaga kerja. Sektor pertanian pada 2022 tumbuh hanya 2,29 persen, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional.
Sektor tanaman pangan yang sangat melekat dengan kehidupan sehari-hari untuk konsumsi masyarakat, juga tumbuh relatif kecil yakni 0,24 persen. Pertumbuhan sub sektor industri pengolahan tembakau juga terus merosot.
Jika dibandingkan pertumbuhan langsung 2022 terhadap 2019 sebelum pandemi COVID-19, sektor tersebut mengalami pertumbuhan negatif, yakni minus 9,2 persen. Pada sisi lain, pada tahun lalu terjadi pergeseran struktur ekonomi menurut lapangan usaha, yang mana sektor industri semakin mengalami penurunan pangsa.
Sebaliknya sektor pertambangan mengalami lonjakan pangsa PDB dari 7,26 persen pada 2019 menjadi 12,22 persen pada 2022.