Selasa 24 Jan 2023 18:35 WIB

Skema Power Wheeling, Ekonom: Keuangan PLN akan Terbebani

Ekonom Dradjad Wibowo menilai klausul power wheeling bukan solusi untuk EBT.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Ahmad Fikri Noor
Seorang pekerja melakukan pemeriksaan rutin di area pipa air Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTMH) Segara di Desa Bentek, Kecamatan Gangga, Lombok Utara, NTB, Rabu (14/12/2022). Ekonom Dradjad Wibowo menilai klausul power wheeling dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT) bukanlah solusi tepat untuk mendorong pengembangan pembangkit.
Foto: ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi
Seorang pekerja melakukan pemeriksaan rutin di area pipa air Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTMH) Segara di Desa Bentek, Kecamatan Gangga, Lombok Utara, NTB, Rabu (14/12/2022). Ekonom Dradjad Wibowo menilai klausul power wheeling dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT) bukanlah solusi tepat untuk mendorong pengembangan pembangkit.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Dradjad Wibowo menilai klausul power wheeling dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT) bukanlah solusi tepat untuk mendorong pengembangan pembangkit. Kebijakan ini justru akan merugikan negara dan menambah beban penyertaan modal negara (PMN). Dradjad menjelaskan, saat ini negara sedang menghadapi tantangan oversupply karena masih dalam tahap pemulihan ekonomi.

Bahkan, menurut Dradjad, hingga 2025, potensi oversupply ini bisa mencapai 9,5 GW. Terlebih lagi dengan adanya skema take or pay (ToP) yang mewajibkan PLN membayar kepada produsen listrik swasta (IPP).

Baca Juga

"Justru dengan adanya skema power wheeling bisa mengganggu PLN dalam menyalurkan oversupply listrik ini. Tentu keuangan PLN terbebani, yang ujungnya akan minta PMN lagi dari Kementerian Keuangan," ujar Dradjad, Senin (22/1/2023).

Ia menjelaskan, potensi beban akibat oversupply saat ini sebesar Rp 21 triliun yang bisa meningkat hingga Rp 28,5 triliun jika pemerintah meloloskan skema power wheeling. Sebelumnya, skema ini justru digadang pemerintah mampu meningkatkan pengembangan EBT di Indonesia.

"Persoalan utama EBT adalah seefisien apapun pembangkitnya, harga listrik EBT tidak mungkin bersaing dengan listrik dari batu bara. Batu bara merupakan sumber energi yang sangat murah, tapi kotor dan tidak terbarukan," ujar Dradjad.

Dradjad mengungkapkan, saat ini harga listrik batu bara hanya sekitar 3-5 sen dolar AS per kWh. Sementara untuk EBT, harganya 6-7 sen dolar AS per kWH untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), 7-8 sen dolar AS per kWh untuk listrik biomassa. Bahkan untuk geotermal di mana Indonesia memiliki sumber panas bumi terbesar kedua di dunia, harganya malah lebih mahal, antara 7-13 sen dolar AS per kWh, kebanyakan di kisaran 11-12 sen dolar AS per kWh.

Dengan struktur harga seperti itu, Dradjad mengkritisi adanya kebijakan power wheeling untuk membantu perkembangan EBT. Menurutnya, konsumen akhir justru akan lebih memilih listrik batu bara yang murah. Menurut dia, struktur harga EBT, solusinya bukan di power wheeling. Solusinya adalah kebijakan afirmatif yang membuat PLN sebagai offtaker dan konsumen akhir listrik EBT mampu bersaing meski membeli listrik EBT yang lebih mahal.

"Karena itu, sebaiknya pasal power wheeling ini dihilangkan saja. Kita fokus pada kebijakan afirmatif untuk mendorong EBT. Kebijakan afirmatif ini bisa berupa subsidi, bisa berupa insentif pajak, birokrasi, dan sebagainya. Bukan power wheeling," ujar Dradjad.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement