REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat berharap optimisme anak bangsa dibangkitkan. Ini untuk bekerja bersama memperkuat ekonomi Indonesia dalam menghadapai ketidakpastian global.
"Respons atas situasi terkini melalui strategi perekonomian 2023 sangat penting. Untuk mencapai pertumbuhan sesuai yang diperkirakan diperlukan optimisme dalam menghadapi sejumlah tantangan," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Prospek Ekonomi Indonesia 2023 yang digelar oleh Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (11/1/2022).
Diskusi yang dimoderatori Dr. Radityo Fajar Arianto, MBA (Dosen Universitas Pelita Harapan) menghadirkan, Dr. Agustinus Prasetyantoko (Rektor Unika Atma Jaya), David Sumual (Kepala Ekonom PT. Bank Central Asia) dan Lukman Hakim (Senior Research Analyst PT Reliance Sekuritas Indonesia Tbk) sebagai narasumber.
Selain itu hadir pula Titis Nurdiana (Wakil Pemimpin Redaksi KONTAN) dan Diyah Putriani, M.Ec., Ph.D (Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM) sebagai penanggap.
Menurut Lestari, pandemi Covid 19, krisis politik di Eropa Timur dan turbulensi geopolitik global patut menjadi pelajaran dalam menata perekonomian dalam negeri. Sinergi multisektor, ujar Rerie sapaan akrab Lestari, patut diperkuat untuk menopang pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2023.
Sementara, menurut Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu, berdasarkan catatan Bank Indonesia perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2023 berkisar 4,5%-5,3% dengan prasyarat dukungan tingkat konsumsi masyarakat, berlanjutnya dukungan fiskal pemerintah, investasi, hingga kinerja ekspor yang tumbuh.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berpendapat diperlukan optimisme dan konsistensi kerja serta kebijakan strategis untuk berbenah, meningkatkan ekonomi nasional demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Rektor Unika Atma Jaya, Agustinus Prasetyantoko berpendapat kondisi data analisis ekonomi dan implementasinya sangat dinamis.
Pada kondisi baru keluar dari pandemi, tambah Agustinus, inflasi tinggi dinilai otoritas moneter merupakan kondisi yang biasa.
Namun, ujarnya, ada variabel penting yang tidak diduga seperti geopolitik yang mengakibatkan harga energi dan pangan naik drastis sehingga mengakibatkan inflasi yang lebih permanen.
Apa pun kebijakan yang diambil, tambah Agustinus, akan mengarah pada kenaikan suku bunga yang cepat dan bernilai besar secara signifikan.
Dampaknya, akan terjadi koreksi pertumbuhan dengan terjadinya stagflasi dan potensi resesi, seberapa panjang dan dalamnya masih sangat dinamis.
Namun, kondisi tersebut akan lebih permanen dan ekonomi global tidak akan sama seperti sebelumnya. Rezim efesiensi akan bergeser pada upaya agar resiliensi.
Menurut Agustinus, ada beberapa hal yang akan menekan pasar likuiditas Indonesia, antara lain disebabkan nilai tukar mata uang yang cukup tinggi di kisaran Rp15.000 per dollar AS, cadangan devisa terkuras untuk tekan dinamika pasar.
Meski begitu, sektor perdagangan kita diuntungkan karena ada peningkatan demand komoditas. Sejumlah upaya seperti relokasi investasi dan hilirisasi akan mendukung perekonomian Indonesia lebih resiliensi.
Kepala Ekonom PT. Bank Central Asia, David Sumual mengungkapkan komoditas akan mempengaruhi perekonomian Indonesia.
Batubara, ujar David, masih jadi tumpuan pertumbuhan komoditas sepanjang 2022, neraca transaksi berjalan cukup besar berkisar 0,5%-1, 3%.
"Harga komoditas Indonesia sangat baik, tetapi hasil ekspornya belum maksimal," ujar David.
Bahkan, tambah David, akan ada aturan baru dari pemerintah yang mengatur berapa lama eksportir memarkir dolarnya di dalam negeri untuk memperkuat likuiditas di dalam negeri.
Tantangan ekonomi Tiongkok yang melambat akan mempengaruhi permintaan terhadap komoditas kita.
Meski begitu David menilai fundamental ekonomi nasional cukup baik, sehingga bila di luar negeri berpotensi terancam resesi di dalam negeri hanya terjadi perlambatan.
Pada 2023, menurut David, masih merupakan masa pemulihan ekonomi pascapandemi, sehingga wajar bila terjadi perlambatan. "Mudah-mudahan angin yang datang ke Indonesia sepoi-sepoi saja, bukan badai ekonomi," ujar David.
Senior Research Analyst PT Reliance Sekuritas Indonesia Tbk, Lukman Hakim menilai pasar saham dalam negeri masih fluktuatif.
"Cukup tertekan setelah Lebaran tahun lalu, kemudian mulai bangkit dan Indonesia diuntungkan pertumbuhan sektor batubara, sehingga dampak krisis geopolitik tidak terasa secara signifikan," ujar Lukman.
Diakui Lukman, saat ini pergerakan IHSG masih mencari arah dan diperkirakan tahun ini pasar saham sektor energi agak tertekan.
Di sisi lain, tambahnya, sektor perbankan tumbuh dengan peningkatan kredit meski ada kenaikan suku bunga dan besaran NPL yang kembali normal.
Permintaan sejumlah komoditas yang menunjukkan peningkatan, ungkap Lukman, juga akan mendorong pertumbuhan sektor logistik.
Wakil Pemimpin Redaksi KONTAN, Titis Nurdiana berharap angin yang menerpa perekonomian Indonesia hanya sepoi-sepoi saja, bukan badai.
"Tidak terkena dampak langsung, meski efeknya tetap ada. Sehingga potensi yang dihadapi cukup perlambatan," ujarnya.
Titis berharap, pemerintah mampu menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia baik-baik saja dengan langkah nyata. Jangan sampai, tambahnya, muncul kebijakan yang didasari atas kondisi yang tidak mencerminkan kondisi sesungguhnya.
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Diyah Putriani mengungkapkan proyeksi sejumlah lembaga keuangan Internasional untuk pertumbuhan ekonomi berkisar 4,7%-5%.
Sedangkan pemerintah, tambahnya, memroyeksikan pertumbuhan ekonomi 5,3% dengan syarat investasi tumbuh 6%. Padahal perekonomian Indonesia dipengaruhi kondisi global.
Diyah mengungkapkan, pada 2023 dunia diprediksi menghadapi badai ekonomi yang disebabkan inflasi tinggi dan daya beli masyarakat yang rendah.
Menurut Diyah, faktor geopolitik dan global warming berpotensi mempengaruhi proyeksi pertumbuhan ekonomi di tanah air.
Penguatan di sektor UMKM, pemberdayaan perempuan dan Islamic social finance, menurut Diyah, bisa dilakukan untuk menjawab sejumlah tantangan tersebut.
Jurnalis senior Saur Hutabarat berpendapat, melihat kondisi perekonomian Indonesia saat ini tidak ada pilihan lain selain memelihara optimisme.
Karena itu, Saur menyarankan, agar pemerintah tidak mudah mengeluarkan kebijakan yang didasari atas pesimisme dengan menilai terjadi ancaman kegentingan terhadap perekonomian nasional.
Pada kondisi saat ini, menurut Saur, presiden harus benar-benar fokus menjalankan pemerintahan dengan mengurangi memikirkan calon penggantinya.