REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Perekonomian Suriah telah mencapai titik terendah sejak dimulainya perang saudara hampir 12 tahun yang lalu. Laju inflasi melonjak, mata uang anjlok, dan kekurangan bahan bakar cukup parah di daerah yang dikelola pemerintah dan yang dikuasai pemberontak.
Dikutip dari AP News, Senin (9/1/2023), kehidupan di Damaskus hampir terhenti. Jalanan hampir kosong dari mobil, rumah tangga menerima listrik hanya beberapa jam sehari, dan harga makanan serta kebutuhan pokok lainnya meroket.
Kepedihan ekonomi yang meningkat telah menyebabkan protes di daerah-daerah yang dikuasai oleh pemerintah Presiden Bashar Assad. Terkadang protes itu ditanggapi dengan kekerasan.
AP News merangkum sejumlah penyebab, mengapa situasi ekonomi menjadi begitu mengerikan dan potensi implikasi yang bakal terjadi.
Pound Suriah mencapai titik terendah sepanjang masa, yakni tujuh ribu pound terhadap dolar AS di pasar gelap pekan lalu sebelum rebound menjadi sekitar enam ribu pound suriah per dolar AS.
Ini masih merupakan penurunan yang signifikan, mengingat nilai tukar tahun lalu masih sekitar 3.600 poun suriah per dolar AS.
Bank sentral meningkatkan nilai tukar resmi dari 3.015 pound suriah per dolar AS menjadi 4.522 pound suriah per dolar AS. Tampaknya mencoba membujuk orang untuk menggunakan nilai tukar resmi daripada berdagang di pasar gelap.
Di tengah kelangkaan BBM, pemerintah menaikkan harga bensin dan solar. Dengan harga resmi 20 liter (5 galon) gas sekarang harganya hampir sebulan penuh gaji rata-rata pegawai negeri, yaitu sekitar 150.000 pound Suriah atau setara 25 dolar AS di pasar gelap.
Sementara itu, beberapa karyawan berhenti bekerja karena mereka tidak mampu membayar transportasi.
"Karena upah tidak mencukupi biaya hidup, kebanyakan orang hidup dari pengiriman uang, mereka hidup dengan dua atau tiga pekerjaan dan bantuan kemanusiaan," kata Joseph Daher, peneliti dan profesor Swiss-Suriah di European University Institute di Firenze, Italia.
Sementara itu, Geir Pedersen, utusan khusus PBB untuk Suriah, mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB pada 21 Desember 2022, bahwa kebutuhan rakyat Suriah telah mencapai tingkat terburuk sejak konflik dimulai.
Protes pecah di beberapa daerah yang dikuasai pemerintah, khususnya di kota Sweida dan Daraa. Di Sweida padabulan lalu, seorang pengunjuk rasa dan seorang petugas polisi tewas setelah demonstrasi berubah menjadi kekerasan.
Terlepas dari perang bertahun-tahun, sanksi, dan korupsi yang meluas, ekonomi Suriah telah mengalami serangkaian guncangan sejak 2019, dimulai dengan runtuhnya sistem keuangan Lebanon tahun itu.
"Mengingat perbatasan terbuka antara Suriah dan Lebanon dan keduanya (menjadi) ekonomi berbasis uang tunai. Pasar mereka terkait erat," kata Nasser Saidi, Mantan Menteri Ekonomi Lebanon.
Suriah juga dirugikan oleh penurunan ekonomi global yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 dan perang Rusia di Ukraina. Ketidakstabilan yang telah menaikkan harga bahan bakar global dan menarik perhatian dan sumber daya sekutu Damaskus, Moskow.
Tetapi faktor yang paling penting adalah pelambatan pengiriman minyak baru-baru ini dari Iran. Ini telah menjadi sumber bahan bakar utama Damaskus sejak tahun-tahun awal konflik, kata para analis.
Sebelum perang, Suriah adalah negara pengekspor minyak. Sekarang ladang minyak terbesarnya, di timur negara itu, dikendalikan oleh kelompok pimpinan Kurdi yang didukung AS dan membuat Damaskus harus mengimpor minyak.
Apakah Pemberontakan Massal Bisa Terjadi Lagi?
Jika krisis berlanjut, kemungkinan akan ada lebih banyak protes, kata para analis. Tapi mereka sebagian besar menolak kemungkinan pemberontakan anti-pemerintah nasional baru seperti yang meletus pada tahun 2011 karena itu memicu tindakan keras berdarah yang melemparkan negara itu ke dalam perang saudara.
Joseph Daher mencatat, protes baru-baru ini telah terfragmentasi dan terlokalisasi. Untuk saat ini, kata Daher. negara kemungkinan akan terus terpuruk seiring dengan bantuan bantuan dan kiriman uang dari luar negeri.
Warga Suriah yang disurvei sebagai bagian dari studi yang akan segera diterbitkan dilaporkan menerima rata-rata 100 dolar AS hingga 200 dolar AS per bulan dari kerabat di luar negeri, menurut Daher.
"Orang-orang sangat lelah dan hanya berpikir bagaimana bertahan hidup, dan tidak ada alternatif politik untuk menerjemahkan frustrasi sosial-ekonomi ini menjadi politik," ujar Daher.