Kamis 01 Dec 2022 00:50 WIB

Ekonom: Krisis Ekonomi 2023 Berisiko Lebih Lama dan Akut

Ekonom menilai krisis ekonomi 2023 bisa lebih parah dari 1998 dan 2008

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Orang Indonesia berjalan melintasi jalan utama di Jakarta. Ekonom menilai krisis ekonomi 2023 bisa lebih parah dari 1998 dan 2008
Foto: EPA-EFE/ADI WEDA
Orang Indonesia berjalan melintasi jalan utama di Jakarta. Ekonom menilai krisis ekonomi 2023 bisa lebih parah dari 1998 dan 2008

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dampak ketidakpastian ekonomi global pada 2023 disebut akan berlangsung lama dan cukup parah. Banyak pihak meramal, ancaman resesi, tingginya inflasi, hingga pengetatan likuiditas akan semakin memojokkan ekonomi banyak negara menuju pelemahan.

"Dibanding dengan krisis-krisis ekonomi sebelumnya, seperti yang terjadi pada 1998 dan 2008, durasi, sebaran dan keparahan krisis ekonomi 2023 berisiko lebih lama dan akut," kata Kepala Ekonom PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat, Rabu (30/11/2022). 

Dalam kondisi terburuk, Bank Dunia meramal perekonomian global akan menyusut hingga 1,9 persen poin menjadi 0,5 persen pada 2023. Bank Indonesia (BI) juga menyatakan, melambatnya ekonomi global terutama akan terjadi di Amerika Serikat (AS) dan Eropa. 

Baca juga : Strategi Investasi Bahana TCW Hadapi Ancaman Resesi 2023

Bahkan probabilitas terjadinya resesi di AS sudah mendekati 60 persen, demikian juga di Eropa. Pemicu utama dari kondisi ekonomi AS dan Eropa adalah tingginya harga energi dan bahan makanan, serta kebijakan moneter yang diambil akan semakin mengetat. 

Menurut Budi, hal ini didorong oleh konflik geopolitik multi polar dan polemik kebijakan moneter paskapandemi yang lebih membutuhkan kerja sama internasional terutama antar negara yang berseteru.

Budi menilai, pertumbuhan ekonomi telah kehilangan momentum akibat covid yang diperparah perang Rusia-Ukraina serta perang dagang AS – China. Kondisi ini meningkatkan risiko utang negara miskin dan potensi krisis pangan di sejumlah kawasan.

Pengaruh berbagai cost-push factors paskapandemi yang pelik terutama terkait upah, gangguan rantai pasok, lonjakan biaya energi dan pangan mempersulit upaya bank sentral mengendalikan inflasi. Kebijakan pengetatan lanjutan berisiko memicu stagflasi global.

Baca juga : Polisi Sita Aset Bos Judi Online Apin BK

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement