REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penerimaan pajak dari perdagangan fisik aset kripto di dalam negeri tercatat mencapai Rp 231,7 miliar. Jumlah pajak itu diakui belum besar lantaran pemungutan pajak kripto baru dimulai pada Mei 2022 lalu.
Plt Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Didid Noordiatmoko, menuturkan, total transaksi aset kripto periode Januari-November 2022 tembus mencapai Rp 296,66 triliun.
"Ini karena yang dikenakan pajak baru periode Mei sampai 14 Desember 2022. Sementara transaksi yang kita data itu Januari-November 2022," kata Didid dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (4/1/2023).
Pajak aset kripto diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68 Tahun 2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto.
Aset kripto digolongan sebagai komoditas yang diperdagangkan dan merupakan barang kena pajak tidak berwujud. Bagi pedagang yang terdaftar di Bappebti dikenakan PPN 0,11 persen dan PPh 0,1 persen dari nilai transaksi. Sementara bagi pedagang yang tidak terdaftar di Bappebti dikenakan PPN 0,22 persen dan PPh 0,2 persen dari nilai transaksi.
Didid mengemukakan, Asosiasi Pedagang Kripto Indonesia (Aspakrindo) sebelumnya telah menyampaikan aspirasi kepada Bappebti agar tidak dikenakan pajak terlebih dahulu. Namun pemerintah tidak setuju dan tetap harus menjadi ojek wajib pajak.
Setelah dikenakan pajak, Didid menyampaikan, Aspakrindo memohon agar adanya keringanan tarif pajak. Namun, ia menegaskan keputusan tarif pajak sepenuhnya ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu.
"Aspakrindo menganggap saat ini lagi kondisi winter crypto, tapi keputusan besar soal tarif ada di DJP. Kami fasilitasi pertemuan tapi keputusan di DJP," ujarnya.