REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center of Reform on Economics (Core) Indonesia memprediksi ekonomi nasional mampu tumbuh dalam kisaran 4,5 sampai lima persen pada 2023. Angka pertumbuhan itu berpotensi dicapai meskipun ekonomi negara-negara barat seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa akan menjadi rentan akibat lonjakan inflasi dan pengetatan moneter.
"Memandang ekonomi dunia 2023, meskipun diprediksi tumbuh lebih lambat, kami (Core Indonesia) sebenarnya masih melihat peluang untuk tidak serta-merta jatuh ke jurang resesi," ujar Ekonom Core Indonesia Yusuf Rendy kepada Republika, Ahad (1/1/2023).
Menurutnya, ekonomi negara-negara barat seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa berpotensi menjadi rentan akibat lonjakan inflasi dan pengetatan moneter. Namun, Cina yang menjadi mitra dagang terbesar banyak negara termasuk Indonesia menunjukkan indikasi perbaikan, sejalan dengan semakin terkendalinya penyebaran Covid-19.
Begitu juga dengan inflasi global pada 2023 yang memang masih berpotensi meningkat. Core Indonesia memperkirakan tingkat inflasi diprediksi lebih rendah dibandingkan 2022 dan tidak banyak mengganggu tingkat konsumsi secara agregat.
Kendati demikian, dampak dari inflasi global masih akan menekan daya beli masyarakat berpendapatan rendah dan kemungkinan juga masih menahan pemulihan mobilitas jarak jauh. "Konsumsi rumah tangga diprediksi tetap kuat dan melampaui tingkat konsumsi prapandemi, meskipun pertumbuhannya melambat marginal akibat tekanan global," ucapnya.
Selain itu, pengetatan moneter diprediksi lebih terbatas karena berkurangnya tekanan inflasi global dan domestik. Investasi pun diprediksi akan kembali menjadi penyumbang kedua terbesar pertumbuhan ekonomi pada 2023.
"Pertumbuhan investasi swasta tidak banyak terganggu oleh tekanan ekonomi global. Meski demikian, surplus perdagangan diprediksi menyempit karena pelemahan permintaan sebagian negara tujuan ekspor utama dan juga pelemahan harga komoditas khususnya komoditas non-energi," ucapnya.