REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menyebut akibat rendahnya literasi dan pemahaman perhitungan perpajakan, kontribusi pelaku UMKM terhadap penerimaan pajak masih rendah. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan pada 2019, kontribusi PPh final UMKM sebesar Rp 7,5 triliun atau hanya sekitar 1,1 persen dari total penerimaan PPh secara keseluruhan.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor mengatakan pihaknya berupaya melakukan berbagai strategi dan upaya untuk meningkatkan literasi pajak bagi UMKM. Adapun upaya tersebut dilakukan antara lain melalui kolaborasi dengan tax center yang ada di perguruan tinggi di Indonesia.
“Tax center inilah DJP melibatkan para mahasiswa menjadi relawan pajak yang bertugas memberikan edukasi pajak dan membantu pengisian SPT para Wajib Pajak, termasuk UMKM. Per Maret 2022, jumlah tax center di Indonesia telah ada sebanyak 336 tax center,” ujarnya kepada wartawan, Rabu (23/11/2022).
Menurutnya DJP juga memiliki program khusus UMKM yang disebut Business Development Services (BDS). Adapun BDS digalakkan melalui workshop, pelatihan kewirausahaan, seminar, kelas pajak tematik, serta layanan informasi dan asistensi kepada UMKM.
Ke depan, lanjut Neilmaldrin, DJP berupaya melakukan kolaborasi dengan pelaku platform digital seperti marketplace untuk meningkatkan literasi pajak UMKM. Terlebih, melalui perubahan pasal 32A UU HPP, nantinya dimungkinkan penunjukan marketplace untuk memungut pajak atas transaksi yang dilakukan marketplace.
“Kita tahu, mayoritas penjual di marketplace adalah UMKM. Maka itu perlu edukasi juga, baik kepada platformnya maupun UMKM-nya,” ucapnya.
Riset dari DDTC FRA juga menemukan akibat dari kurangnya literasi serta pengetahuan dari UMKM, sebanyak 61 persen pelaku UMKM belum memanfaatkan fasilitas PPh final sebesar 0,5 persen. Selain itu, masih banyak juga pelaku UMKM yang hanya mengetahui. Namun, belum memahami ketentuan yang melekat dengan kewajiban pajak serta terhambat oleh kompleksitas ketentuan pajak, terutama terkait penghitungan.
Sementara itu Ketua Umum UMKM Naik Kelas, Raden Tedy menambahkan banyak UMKM lokal yang belum berkembang signifikan, misalnya mereka belum paham betul cara membuat laporan keuangan hingga mengurus perizinan.
“Rendahnya angka partisipasi pajak dari sektor UMKM dapat dikarenakan minimnya kemampuan dan pengetahuan mereka tentang perpajakan,” ucapnya.
Kepala Tax Center Universitas Gunadarma, Beny Susanti menambahkan DJP memiliki peranan yang sangat penting, terutama terkait literasi dan edukasi. Tak adil apabila pihak lain, seperti platform ecommerce, yang lebih optimal dalam memberikan literasi dan edukasi.
Sebelum berbicara lebih jauh terkait mekanisme potong pungut, hendaknya pemerintah terlebih dahulu memenuhi hak utama UMKM, yaitu mendapatkan literasi dan edukasi yang baik tentang sistem perpajakan.
“UMKM bukan tidak mau bayar pajak, namun ada faktor lain, seperti sistem atau merasa kesulitan, Atau kita kembali ke definisi pajak. Saya bayar pajak itu, saya dapat apa secara langsung, tidak ada. Tiba-tiba dipotong pajaknya, nah edukasi ini yang perlu kita sampaikan secara masif,” ucapnya.
Adapun survei DDTC FRA turut memberikan beberapa masukan yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan pengetahuan serta partisipasi para pelaku UMKM dalam sistem perpajakan di Indonesia. Pertama, dibutuhkan transformasi administrasi pajak berupa peningkatan pelayanan petugas dan optimalisasi kolaborasi multistakeholder.
Selanjutnya, simplifikasi kebijakan pajak dan sistem yang dinilai masih sangat kompleks oleh para pelaku UMKM. Terakhir, DDTC FRA juga merekomendasikan optimalisasi literasi pajak di mana sebagian besar responden pelaku UMKM mengatakan peningkatan literasi perpajakan penting mengingat saat ini pengetahuan mereka masih sangat terbatas.
Kementerian Keuangan sebelumnya juga telah membuat sejumlah kebijakan agar penerimaan negara melalui UMKM dapat terserap secara optimal. Sebut saja Peraturan Pemerintah (PP) No 23 Tahun 2018 yang memberikan keistimewaan peraturan perpajakan terhadap UMKM. Misalnya, penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) final UMKM dari yang sebelumnya 1 persen menjadi 0,5 persen berdasarkan penghasilan brutonya.
Selain itu, pemerintah juga telah membebaskan PPh UMKM perseorangan dengan penghasilan di bawah Rp 500 juta per tahun melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).