Jumat 04 Nov 2022 07:07 WIB

Indonesia Miliki Kekuatan Redam Dampak Resesi Global

Indonesia akan menjadi negara peringkat empat PDB terbesar di dunia.

Suasana pelabuhan peti kemas Kaltim Kariangau Terminal, Balikpapan, Kalimantan Timur, Sabtu (8/10/2022). (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Rivan Awal Lingga
Suasana pelabuhan peti kemas Kaltim Kariangau Terminal, Balikpapan, Kalimantan Timur, Sabtu (8/10/2022). (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rontoknya investasi perusahaan teknologi digital ditambah ancaman resesi global yang diprediksi terjadi tahun depan tak membuat Indonesia dan kawasan ASEAN kehilangan momentum pertumbuhan. Kondisi tremor itu dinilai konsekuensi wajar dari situasi global hari ini.

Katalis pertumbuhan dinilai pula masih cukup banyak untuk Indonesia dan ASEAN. Hal itu diungkapkan Direktur Eksekutif Lippo Group, John Riady, saat menghadiri Cathay Forum kesembilan di Singapura. Ia menyebutkan saat ini bubble startup sebagai fenomena wajar agar aliran investasi seiring sejalan dengan pengembangan pasar secara riil.

Menurut John fenomena ini akan menguji sekian banyak perusahaan teknologi digital yang relevan bagi pasar, serta memvalidasi valuasi. Hal itu justru akan memberikan imbas positif bagi berbagai inovasi dan solusi untuk masyarakat menyongsong era digital. 

Sementara terkait potensi resesi, John menilai kondisi Indonesia dan kawasan ASEAN masih memiliki kekuatan guna meredam dampak terburuknya. Sewaktu perdagangan internasioal lesu akibat kontraksi perekonomian yang terjadi di negara-negara besar, Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN masih bisa mengandalkan pasar domestik maupun regional. 

“Persoalan utama memang masih menghantui, seperti terganggunya rantai pasok global, berimbas kepada aliran bahan baku maupun sektor energi. Namun dari perkiraan berbagai lembaga global, Indonesia dan kawasan ASEAN masih jauh lebih baik,” ungkapnya.

Dia justru meyakini ASEAN ke depan akan jauh lebih berkembang. Saat ini saja, ASEAN merupakan kawasan ekonomi terpadat ketiga di dunia, dengan tingkat pertumbuhan nomor tiga setelah Cina dan India. 

Sejalan dengan itu, berdasarkan riset IMF bersama Standard Chartered pada 2030, Indonesia akan menjadi negara peringkat empat PDB terbesar di dunia yang mencapai 10,1 triliun dolar AS. Indonesia membuntuti posisi Cina, India, dan Amerika Serikat. 

Proyeksi tersebut, ungkap John, sangat mungkin terealisasi mengingat jumlah populasi produktif yang cukup besar. Pada 2030, populasi usia kerja di ASEAN bakal meningkat 40 juta orang dari saat ini, di saat negara lainnya mengalami penyusutan. "ASEAN dan Indonesia mengambil porsi sekitar setengahnya,” kata John. 

Faktor yang sama akan membuat penetrasi digital di Indonesia akan semakin masif ke depan. Mengacu riset Google dan Bain, pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia mengalami lonjakan tajam sejak dua tahun lalu, bahkan pada 2030 ekonomi digital di Indonesia diprediksi akan mencapai nilai 330 miliar dolar AS, meningkat lima kali lipat dari 2021 yang sebesar 70 miliar dolar AS.

John menilai prediksi itu tidak mengejutkan. Sebab, katanya, diukur dari sudut valuasi perusahaan teknologi digital saja terjadi peningkatan 1.000 kali lipat dalam 8 tahun terakhir.

“Pada 2014, value dari seluruh perusahaan teknologi di Indonesia hanya berkisar Rp 1 triliun. Saat ini dengan semakin majunya perusahaan tersebut, nilainya bisa mencapai Rp 1.000 triliun,” ungkap John.

Karena itu Lippo Group, sebut John, juga akan memainkan peran penting bagi laju tersebut. Menurutnya, Lippo Group akan mengawal episentrum pertumbuhan ASEAN dan dunia dengan mengoptimalkan lagi kinerja seluruh tentakel bisnis yang meliputi properti, kesehatan, ritel, dan investasi teknologi. 

“Lippo Group memainkan proksi bagi kemajuan ekonomi Indonesia secara signifikan, dan kami akan terus memanfaatkan perubahan teknologi untuk berinovasi, serta memperkuat posisi kepemimpinan kami,” ujar John.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement