REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ahmad Suryanto, S.TP, MP, Widyaiswara pada Balai Pelatihan PertanianLampung
Dari hasil pengamatan di lapangan terhadap karakteristik petani singkong, khususnya di wilayah Lampung, dapat digambarkan bahwa petani singkong pada umumnya berlahan sempit (kurang dari 2 hektar), penggarapan secara sendiri-sendiri di lahan kering yang letaknya menyebar atau terfragmentasi. Dengan karakter seperti ini, efisiensi pengelolaan usaha tani tentu menjadi catatan serius.
Selain itu dalam pengamatan penulis, usaha tani singkong yang dilakukan petani umumnya bukanlah sebagai sumber pendapatan tunggal. Mereka sebagian besar memiliki ternak sapi dan unggas. Sebagian juga bekerja sebagai buruh, tukang, dan atau menjalani pekerjaan lainnya. Ada juga yang memiliki usaha pengolahan industri makanan ringan, membuka warung, dan lain sebagainya.
Dari cara pengelolaan usaha tani seperti di atas, data menunjukkan produktifitas lahan singkong di Lampung bervariasi dari 20 ton hingga 50ton per hektar. Data Badan Pusat Statistik merilis produktifitas lahan singkong di Lampung dalam rentang tahun 2014 hingga 2019 di kisaran angka 26 ton per hektar.
Ada beberapa hal menarik dari fakta di atas yang menurut penulis patut menjadi perhatian, khususnya terkait bagaimana meningkatkan pendapatan dan nilai tambah di kalangan petani pengelola usaha tani singkong.
Pertama, berdasarkan kenyataan di lapangan bahwa banyak petani yang bisa menghasilkan produktfitas tinggi dari pengelolaan lahan singkongnya dengan menerapkan tata kelola pertanaman yang lebih baik, maka sebenarnya peluang meningkatkan pendapatan dan nilai tambah dari peningkatan produktifitas tanaman masih terbuka lebar.
Kedua, selain dari peningkatan produktifitas, peluang peningkatan nilai tambah juga bisa tercipta dari penerapan pertanian terpadu (integrated farming) dengan memanfaatan semua biomassa yang tersedia (zerro waste),melibatkan budidaya ternak dan berbagai proses mikrobiologi. Pakan, Biogas, pupuk orgnik, dan hasil termak (daging) adalah beberapa produk yang akan dihasilkan, baik sebagai produk antara yang dikembalikan ke lahan (pupuk) maupun produk akhir yang dipakai (biogas) atau dikonsumsi (daging).
Ketiga, melihat geliat tren produk olahan ubi kayu terbuka peluang hilirisisi berbasis kreatifitas yang bisa membuka lapngan kerja baru berbasis olahan singkong. Produk utama indusri singkong secara tradisi selama ini adalah berupa tapioka, baik tapioka untuk pangan maupun untuk industri manufaktur (papan partikel, tekstil, keras, dekstrin, HFS, dll).
Beberapa waktu terakhir diversifikasi produk berupa tepung Mocaf, dan beberapa produk olahan seperti mie, cookies, brownis dan aneka jajanan kekinian lain juga makin berkembang. Dengan branding sebagai makanan alternatif yang menyehatkan kampanye untuk mengkonsumsi aneka produk berbasis singkong berlahan terus tumbuh secara pelahan.
Proses pertanian terpadu dan hilirasi di atas jika dikerjakan dalam siklus yang berlangsung dalamlingkaran petani maka ini akan menciptakan nilai tambah yang luar biasa. Namun demikian, untuk sampai ke sana, menurut penulis, ada beberpa PR yang mesti diselesaiakan.
Pertama terkait sumber daya manusia (SDM) penggerak yang mampu melakukan inovasi dan bisa menggerakkan masyarakat tani sehingga terkoordinsi dalam sebuah sistem agribisnis yang terrencana dan berjalan efektfif. Dalam konteks ini, cukup relevan jika program memberdayakan petani milenial sebagai leader untuk transformasi kelompok tani menjadi korporasi diimplementasikan disini. Setidaknya diperlukan sebuah model uji coba sampai berhasil sehingga bisa menjadi protipe percotohan yang bisa diduplikasi di tempat lain.
Program petani milenial dan korporasi petani yang selama ini digaungkan pemerintah, sekali lagi, sangat relevan dalam konteks ini.
Kedua, pekerjaan rumah yang tak kalah panting untuk dipecahkan adalah terkait permodalan untuk menggerakan sistem agribisnis dalam sebuah manajemen korporasi. Kabar baiknya, selama ini ada Kredit Usha Rakyat (KUR) yang disediakan pemerintah melalui bank-bank penyalur. Konon KUR ini masih belum optimal penyerapannya sehingga peluang untuk memperoleh kucuran kredit ini terbuka lebar.
Namun demikian, pihak perbankan tentu tidak akan serta merta mengucurkan kreditnya tanpa ada track record dan reputasi kinerja sebuah badan usaha dalam menjalankan bisnisnya.
Oleh karena itu sebagai sebuah langkah awal mau tidak mau, pemerintah harus meyediakan dana awal sebagai triger dan langkah awal hingga reputasi dan track record korporasi yang digagas ini terlihat.
Sebagai sebuah gagasan, apa yang penulis sampaikan mungkin layak dijadikan bahan diskusi oleh para pihak yang berkepentigan dan bahkan lebih lanjut tentang korporasi yang bisa menciptakan nilai tambah di kalangan petani singkong ini layak untuk diujicobakan.