REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyoroti munculnya skema power wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik dalam RUU Energi Baru Terbarukan (EBT). Skema tersebut dinilai membuka ruang liberalisasi sektor ketenagalistrikan nasional.
Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef Abra Talattov menilai, aturan mengenai skema tersebut bertentangan dengan mandat konstitusi. Dia menegaskan, sektor ketenagalistrikan yang merupakan sektor strategis, harus dikendalikan oleh negara.
"Saya kira dalih percepatan transisi energi melalui skema power wheeling sangat tidak masuk akal dan aroma liberalisasinya sangat menyengat," ujar Abra, Kamis (27/10).
Abra pun memaparkan tiga alasan mengapa publik perlu mencermati pasal-pasal mengenai power wheeling dalam RUU EBT tersebut (pasal 29 A, pasal 47 A, pasal 60 ayat 5). Pertama, kata dia, tidak ada urgensi sama sekali untuk menjadikan skema power wheeling sebagai pemanis dalam menstimulasi porsi pembangkit EBT.
Abra menjelaskan, bahwa tanpa adanya pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik, pemerintah sebetulnya sudah menggelar karpet merah bagi swasta untuk memperluas bauran EBT sebagaimana yang dijaminkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. Dalam RUPLT itu, target tambahan pembangkit EBT mencapai 20,9 gigawatt (GW) dengan porsi swasta mencapai 56,3 persen atau setara dengan 11,8 GW.
"Artinya, dengan menjalankan RUPTL 2021-2030 secara konsisten saja, secara alamiah bauran pembangkit EBT hingga akhir 2030 akan mencapai 51,6 persen," tegasnya.
Kedua, pengusulan skema power wheeling kurang relevan, mengingat saat ini beban negara yang semakin berat menahan kompensasi listrik akibat kondisi oversuplai listrik yang terus melonjak. Abra mengatakan, saat ini kondisi sektor ketenagalistrikan sangat miris karena terjadi disparitas yang lebar antara pasokan dan permintaan listrik, sehingga diproyeksikan oversuplai listrik tahun ini akan menyentuh 6-7GW.
"Situasi oversupply listrik tersebut berpotensi makin membengkak karena masih adanya penambahan pembangkit baru hingga 16,3 GW pada 2026 sebagai implikasi dari megaproyek 35 GW," katanya.
Ketiga, implikasi kerusakannya terhadap kesehatan keuangan negara. Di tengah kondisi kelebihan suplai listrik sebesar 1 GW saja, lanjut Abra, biaya yang harus dikeluarkan negara melalui PLN atas konsekuensi skema take or pay bisa mencapai Rp 3 triliun per GW.
"Secara sederhana kalau kita asumsikan rata-rata oversupply listrik sebesar 6-7 GW per tahun, maka potensi oversupply selama 2022-2030 mencapai 48GW-56 GW atau setara dengan tambahan biaya Rp 144-168 triliun," katanya.