Oleh Priyantono Oemar, wartawan Republika.
REPUBLIKA.CO.ID -- Wellem Kalami meniup un. Terompet dari cangkang triton itu ia tiup tiga kali, lalu berteriak berulang-ulang. ”Nanimo, nanimo.... Ne lagi, ne dala.... Nanimo, nanimo.... Bupati ufudeng.” Artinya, “Datang kemari, datang kemari.... Perempuan, laki.... Datang kemari, datang kemari.... Bupati telah datang.”
Pada hari itu, Bupati Sorong Johny Kamuru --yang berakhir masa jabatannya pada 22 Agustus 2022-- menghadiri upacara adat buka egek atau buka sasi di Malaumkarta. Kampung yang berhadapan dengan Pulau Um ini berada di Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat.
Pejabat datang di kampung tak sebatas menghadiri acara, tetapi biasanya juga menyampaikan program-program pembangunan. Itu sebabnya, warga selalu dikumpulkan untuk mendengarkannya. Masyarakat adat Moi di Malaumkarta membuka diri untuk ide-ide pembangunan, tetapi jika idenya merusak alam, masyarakat akan menolaknya. Empat ayat di Pasal 17 Perda Nomor 10 Tahun 2017 mengatur, pembangunan di wilayah Moi di Kabupaten Sorong harus ada persetujuan dari masyarakat adat.
Ada 14 marga Moi di lima kampung di Malaumkarta Raya. Mereka memegang teguh aturan adat untuk menjalankan konservasi alam secara adat. Seharusnya mereka sudah melakukan buka egek pada 2020, tetapi karena ada pandemi Covid-19, pada 2020 itu tidak jadi buka egek. Baru pada 2022 ini mereka bisa melakukan buka egek, dengan hasil panen yang jauh menurun dibandingkan dengan hasil buka egek pada 2018.
“Data penjualan buka egek dari 14 Juni 2022 sampai 31 Juli 2022 ada Rp 177,869 juta,” ungkap Kepala Kampung Malaumkarta Jefry Mobalen kepada Republika, Ahad (9/10). Sistem egek diterapkan untuk menjaga kelestarian laut Malaumkarta. Kepala Badan Musyawarah Kampung Malaumkarta, Everadus Kalami, pernah menjelaskan kepada Republika, "Kami menyebutnya egek, tapi orang Indonesia timur pada umumnya menyebut sasi.''
Makna Egek dan Sasi
Di Sangihe, menurut catatan N Adriani yang mempelajari naskah-naskah Sangihe pada 1894, sasi artinya air laut. Pada 1886, JGF Riedel membahas pantangan atau tabu yang dikenal sebagai sasi di buku De Sluik- en Kroesharige Rassen Tusschen Selebes en Papua (Ras Berambut Lurus dan Keriting antara Sulawesi dan Papua). Ketika pantangan itu diberlakukan pada sesuatu, maka sesuatu itu menjadi “tak tersentuh”, bahkan oleh pemiliknya sendiri untuk sementara waktu. Semula pantangan ini diterapkan untuk menghindari pencurian atau perampasan dari pihak lain.
Merujuk pada tulisan Riedel itu, Dr GA Wilken pada 1888 menjelaskan, masyarakat menjauhi pantangan itu karena takut munculnya murka dari makhluk gaib. Dalam kondisi seperti ini intervensi administrasi tidak bisa diterapkan pada pelaksanaan pantangan atau sasi itu. Tulisan Wilken dimuat di Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie (Kontribusi untuk Linguistik, Geografi, dan Etnologi Hindia Belada).
Tokoh adat Jayapura, Papua, Alexander Griapon, menyebut ketika Belanda masuk Papua pada 1910, hilanglah pemerintahan adat di Papua, diganti oleh pemerintahan modern bawaan gereja dan Belanda. Hukum adat pun mati di kampung-kampung struktural bentukan gereja dan Belanda. “Kampung-kampung struktural itu berdiri di atas tanah adat dan berhasil meminggirkan hak dan wewenang adat,” ujar Griapon yang menulis buku Peran Ondoafi yang Terapit, kepada Republika di Sentani.
Di Kaimana juga ada sistem egek yang dijalankan oleh petuanan. Petuanan adalah wilayah adat milik setiap marga. Di Kampung Kambala, misalnya, ada lima petuanan, yaitu Etana, Yagana, Sardiki, Uriepa, dan Samay. Warga dari marga lain boleh ikut buka egek yang dilakukan oleh marga lain.
Saat Republika berada di Kambala pada 3 Desember 2019, ada marga yang sedang buka egek. Kaum perempuan juga ikut menangkap hasil laut saat buka sasi itu, meski hanya di pinggiran pantai saja. ‘’Ini kerang diambil di pantai saat meti,’’ ujar Sadiah Samay sambil membakar kerang di belakang rumahnya di sisi pantai Kambala. Meti adalah istilah yang mereka pakai untuk menyebut air surut.
Sore itu, Sadiah, Pares Samay, dan Fatimah Laampy membawa pulang kerang, teripang goso, teripang benang, dan teripang karet. Teripang oleh mereka akan dikeringkan dengan cara diasap dan dijemur, lalu dijual atau dikonsumsi sendiri.
Namun Kampung Kambala tak memiliki data jumlah hasil buka egek setiap tahunnya. Hasil panen langsung dibawa pulang oleh masing-masing peserta buka sasi, tidak dilelang di lokasi. ‘’Jadi kita tak pernah mendapat laporan jumlah hasil buka sasi,’’ ujar Sekretaris Kampung Kambala Safar Naroba saat itu.
Diaktifkan Lagi Sejak Tahun 2000
Di Malaumkarta, wilayah perairan yang ditetapkan sebagai wilayah egek mencapai tiga mil (sekitar 4,8 kilometer) dari garis pantai. Di sebelah selatan berbatasan dengan Distrik Klayili, di sebelah barat mencapai Kampung Mibi. Kampung Mibi merupakan salah satu kampung hasil pemekaran dari Kampung Malaumkarta. Semua ada lima kampung hasil pemekaran yang kemudian membentuk Ikatan Kampung Malaumkarta Raya (IKMR). Empat kampung ada di pinggir pantai, yaitu Malaumkarta, Mibi, Suatolo, Suatut. Sedangkan satu kampung ada di gunung, yaitu Malagufuk.
Ketua IKMR Demas Magablo pernah menjelaskan kepada Republika, lima kampung itulah yang secara adat menetapkan sistem egek untuk kelestarian alam mereka. Selain egek laut, mereka juga mulai menerapkan egek hutan pada 2021. Mereka bahu-membahu menjaga laut dan hutan. Tua-muda, laki-perempuan, aparat kampung ataupun warga biasa, semua menunjukkan kepedulian. "Biar alam di Malaumkarta Raya tak rusak,'' ujar Demas Magablo yang habis masa kepengurusan di IKMR pada September 2022. Ia digantikan oleh Fertince Kalami.
Dengan sistem egek yang mulai diaktifkan kembali sejak 2000 itu, keberlanjutan hasil laut tetap terjaga. Bahkan, untuk memikirkan keberlanjutan itu, mereka juga membentuk kelompok konservasi yang diketuai oleh Roberth Kalami sejak 2016. Kelompok konservasi ini mendapat pendampingan dari Loka Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (PSPL) Sorong Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua Barat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Lewat kelompok konservasi ini, para pemuda Malaumkarta juga menanam terumbu karang dan menangkar penyu.
Keberhasilan menghentikan perburuan penyu juga karena faktor kesepakatan bersama warga lima kampung itu. Berburu penyu dijadikan pantangan. Melanggar pantangan, dipercaya bisa berakibat fatal, misalnya meninggal dunia. Denda juga diberikan kepada pelanggar, biasanya berupa kain senilai di atas Rp 2 juta.
Pernah ada kasus, ada keluarga yang mengambil penyu, kemudian anaknya me ninggal. Ambil penyu lagi, anaknya meninggal lagi. "Dua anak meninggal, langsung minta doa pengampunan ke gereja,'' ungkap Everadus Kalami.
Gunakan Alat Tangkap yang tidak Merusak
Persiapan buka egek 2022 dilakukan sebulan sebelumnya. Para pemuda Malaumkarta antusias menyiapkan hal-hal yang diperlukan, seperti alat tangkap. Karena egek merupakan sistem adat untuk konservasi laut, maka penangkapan selama buka egek pun tidak boleh menggunakan alat tangkap yang merusak, seperti pukat harimau, bom, dan bius. Alat tangkap yang mereka gunakan ada kelawai (tombak) dan molo (speargun), yaitu tombak yang tersambung dengan benang nilon, lalu ditembakkan secara manual untuk menangkap hasil laut. Mereka juga bisa menangkap dengan tangan kosong saat menyelam.
Untuk mencapai area tempat penangkapan, mereka menggunakan perahu motor tempel 15 PK. Dari perahu mesin mereka menyelam jika di bawah tidak ada sasaran, akan naik ke permukaan laut lalu melambaikan tangan pertanda tidak ada tangkapan. Jika mereka naik ke permukaan dengan membawa tangkapan, maka perahu akan mendekatinya untuk mengambil hasil tangkapan.
Untuk persiapan buka egek ini, panitia memerlukan dana operasional sebesar Rp 10 juta. Dana itu didapat dari gereja sebagai pinjaman. Upacara buka egek pun dilakukan oleh gereja dan masyarakat adat. Pembukaan secara agama dilakukan pada Ahad (12/6), sedangkan pembukaan secara adat dilakukan pada Senin (13/6). Hasil tangkapan selama seminggu pertama sejak Selasa (14/6) dipakai untuk membayar pinjaman dana operasional dari gereja.
“Hasil tangkapan lobster menurun. Sedangkan hasil tangkapan teripang naik, tetapi harga di pasar sedang turun. Selain itu, lola yang melimpah tidak bisa kami panen karena pasar sudah tutup setelah ada larangan jual-beli lola,” ungkap Ketua Konservasi Malaumkarta, Roberth Kalami. Lola (Trochus niloticus) disebut juga sebagai siput laut.
Lola dimasukkan dalam daftar satwa yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Tapi, Menteri Kehutanan dan Perkebunan pada tahun 1999 juga telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 385 yang menetapkan lola sebagai satwa buru melalui penetapan lokasi tertentu dan kuota. Lola yang boleh dipanen yang sudah memiliki cangkang minimal 80 mm (8 cm). Namun, dalam Rencana Aksi Nasional Konservasi Lola Periode I (2016-2020) disebutkan, “pengelolaan lola berdasarkan budaya sasi belum mempunyai payung hukum formal”.
Pada buka egek Maret-Mei 2018, didapat sekitar Rp 300 juta. Hasil tangkapan teripang mencapai Rp 194,58 juta, lobster Rp 105,48 juta, dan lola sekitar Rp 400 ribu. Sepuluh tahun sebelumnya, yaitu pada 2008, buka egek hanya menghasilkan Rp 9,5 juta.
Untuk buka egek tahun ini, hasil tangkapan teripang hanya mendapat Rp 72,883 juta. Jumlah hasil tangkapan mencapai 289 kilogram dari berbagai jenis teripang. Ada jenis teripang susu, teripang kunyit, teripang malam, teripang nanas, teripang sepatu, teripang bintik, teripang senter, dan sebagainya.
Sedangkan hasil tangkapan lobster, nilai penjualannya mencapai Rp 104,986 juta. Jumlah tangkapannya mencapai 328 kg, mencakup berbagai jenis lobster, yaitu lobster mutiara, lobster bambu, lobster batu, lobster batik, lobster kipas, dan lobster pasir.
“Tahun ini, 100 persen hasil buka egek masih untuk pembangunan gereja,” jelas Jefri. Setelah selesai masa buka egek, kemudian ditutup lagi untuk waktu tertentu hingga kemudian dibuka lagi. Di Malaumkarta, masa tutup egek mencapai dua tahun. Selama masa tutup egek itu tidak boleh ada penangkapan hasil laut untuk tujuan komersial. Untuk kebutuhan sehari-hari, masih diperbolehkan menangkap ikan, tetapi tidak untuk lobster, teripang, dan lola.
Ingin Lakukan Budidaya
Buka egek Juni-Juli 2022 ini dinilai Torianus Kalami bukan sebagai waktu yang tepat, karena sudah jauh melewati masa panen teripang dan lobster. “Teripang bisa dipanen setelah usia enam bulan, lobster bisa dipanen setelah usia sembilan bulan sampai satu tahun,” ujar Ketua Pemuda Generasi Malaumkarta Raya itu.
Karena itu, masyarakat adat Malaumkarta saat ini tengah memikirkan upaya budidaya teripang dan lobster, di luar produksi alami yang selama ini diterapkan dalam sistem egek. “Dengan adanya budidaya ini, diharapkan mendapatkan hasil yang optimal, meski harga hasil budidaya berbeda dengan harga hasil produksi alami,” ujar Torianus Kalami.
Menurut Torianus, rencana budidaya ini bukan untuk mengganggu sistem egek. Sistem egek tetap dijalankan, karena itu sudah menjadi keputusan adat dan sudah diperkuat oleh Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Moi di Kabupaten Sorong dan Peraturan Bupati Sorong Nomor 7 Tahun 2017 tentang Hukum Adat dan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Laut di Kampung Malaumkarta.
Sedangkan untuk budidaya, bisa dipanen berdasarkan usia waktu panen, sehingga tidak perlu menunggu masa buka egek. “Saat buka egek, jika lobster yang ditangkap memiliki telur harus dilepas lagi. Nanti jika budidaya sudah dijalankan, lobster yang bertelur ini bisa dipisahkan untuk dipakai budidaya,” ujar Roberth Kalami.
Hasil budidaya ini, menurut Torianus, bisa dimanfaatkan untuk pengembangan ekonomi masyarakat. Malaumkarta saat ini juga sedang mengembangkan ekowisata. Ini memerlukan dukungan dari sektor lain, sehingga pelancong yang datang di Malaumkarta bisa membawa oleh-oleh, seperti misalnya penganan lokal dari hasil laut. “Mama-mama di Malaumkarta sudah mendapat pelatihan produk olahan, tetapi tetap memerlukan pendampingan untuk pasar,” ujar Torianus.
Pelatihan peningkatan kreativitas pengolahan sumber daya alam ini diadakan oleh Pemuda Generasi Muda Malaumkarta Raya bekerja sama dengan Yayasan Konservasi Alam Nusantara. Pelatihan yang sudah diberikan mencakup cara pembuatan sambal ikan, keripik pisang, keripik sukun, dan sebagainya. Mencakup juga pelatihan peningkatan keterampilan kerajinan tangan. Selama ini, mama-mama di Malaumkarta sudah memproduksi noken, tikar (kalik dala) dari daun pandan hutan yang bisa dipakai untuk payung.
Yayasan Konservasi Alam Nusantara dan BBKSDA, menurut Torianus, juga akan memberikan pendampingan untuk budidaya lobster dan teripang. Bantuan modal disediakan, termasuk bantuan speedboat untuk patroli laut. Untuk usaha ini, akan dibentuk kepanitiaan khusus untuk mengelola kawasan egek dan budidaya.
Dengan demikian, pengelolaan egek diharapkan lebih profesional dengan manajemen yang lebih baik dari yang telah dilakukan selama ini. Pengetahuan adat dalam konservasi alam secara adat lewat sistem egek akan dipadukan dengan konservasi alam secara sains lewat sistem budidaya modern.
Pada Selasa (11/10), diadakan lokakarya sebagai langkah awal untuk mewujudkan rencana itu. “Bagaimana caranya agar konversasi keberlanjutan menurut adat dan konservasi keberlanjutan menurut sains itu bisa dipadukan,” ujar Torianus, Selasa (11/10).