REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), melalui Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan (BBRSEKP) dan Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia (ISPIKANI) menggelar webinar bertema “Menuju Perikanan Emas 2045: Aspek Sosial Ekonomi dan Kesejahteraan dalam Tata Kelola SDM Perikanan yan Berkelanjutan”, Jumat (26/8/2022).
Salah satu narasumber webinar tersebut adalah Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University, Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS. Ia membawakan makalah berjudul “Pembangunan Kelautan dan Perikanan untuk Meningkatkan Daya Saing, Pertumbuhan Ekonomi, dan Kesejahteraan Rakyat secara Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas 2045”.
Menurutnya, peran dan kontribusi sektor kelautan dan perikanan dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045 paling tidak mencakup dua hal. Pertama, mengatasi segenap permasalahan dan tantangan pembangunan Sektor KP pada khususnya, dan bangsa Indonesia pada umumnya.
“Kedua, dengan menggunakan inovasi teknologi dan manajemen profesional (modern), meningkatkan pendayagunaan sumber daya kelautan dan perikanan untuk meningkatkan daya saing, pertumbuhan ekonomi inklusif, dan kesejahteraan rakyat secara ramah lingkungan dan berkelanjutan (sustainable) menuju Indonesia Emas, paling lambat pada 2045,” kata Prof Rokhmin seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Jumat (26/8/2022).
Ia lalu menjelaskan permasalahan dan tantangan pembangunan Indonesia. Menurutnya, tantangan pembangunan utama Indonesia adalah bahwa sudah 77 tahun merdeka, tetapi status (pencapaian) pembangunannya baru sebagai negara berpendapatan-menengah bawah (lower-middle income country), dengan GNI (Gross National Income) per kapita hanya 3.870 dolar AS pada 2021 (Bank Dunia, 2021).
“Ini harus segera diatasi, sebab dari sekitar 194 negara anggota PBB, sampai sekarang baru 55 negara (28 persen) yang telah mencapai status negara maju dan makmur,” ujar Rokhmin yang juga ketua umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI).
Lebih menukik lagi, Rokhmin memaparkan domain, potensi dan tingkat pemanfaatan ekonomi kelautan dan perikanan Indonesia. Ia menyebutkan, total potensi ekonomi sebelas sektor kelautan Indonesia: 1,4 triliun dolar AS/tahun atau 7 kali lipat APBN 2021 (Rp 2.750 triliun = 196 miliar dolar AS) atau 1,2 PDB Nasional 2020. Sektor kelautan dan perikanan Indonesia mampu menyediakan lapangan kerja untuk 45 juta orang atau 30 persen total angkatan kerja Indonesia.
“Namun, pada 2018 kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 10,4 persen. Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil (seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia), kontribusinya lebih besar dari 30 persen,” papar Rokhmin yang juga ketua MAI.
Rokhmin lalu memaparkan sejumlah permasalahan pembangunan kelautan dan perikanan Indonesia. Sebagian besar usaha perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan perdagangan hasil perikanan dilakukan secara tradisional (low technology) dan berskala Usaha Kecil dan Mikro (UKM). Sehingga, tingkat pemanfaatan SDI (sumber daya insani), produktivitas, dan efisiensi usaha perikanan pada umumnya rendah.
“Akibatnya, nelayan dan pelaku usaha lain miskin, dan kontribusi bagi perekonomian (PDB, nilai ekspor, pajak, PNBP, dan PAD) rendah,” ujar ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.
Selain itu, ukuran unit usaha (bisnis) perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan perdagangan hasil perikanan sebagian besar tidak memenuhi skala ekonomi (economy of scale). Sehingga, keuntungan bersih (pendapatan) lebih kecil dari 300 dolar AS (Rp 4,5 juta)/orang/bulan, alias miskin.
“Faktor lainnya, sebagian besar pembudidaya ikan belum menerapkan Best Aquaculture Practices (BAP = Cara Budidaya Ikan Terbaik), sehingga sering terjadi serangan wabah penyakit yang menyebabkan gagal panen,” kata Rokhmin yang juga Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2020 – 2024
Kemudian, pasokan pakan ikan berkualitas yang selama ini mengandalkan sumber proteinnya dari fishmeal (tepung ikan) semakin terbatas, sehingga mengakibatkan harganya terus naik. Padahal, sekitar 60 persen biaya produksi untuk pakan ikan.
“Pasokan induk (broodstocks) dan benih berkualitas unggul (SPF, SPR, dan fast growing) masih terbatas. Padahal, benih menentukan 50% keberhasilan usaha budidaya,” ujar Rokhmin mengutip data FAO (2018).
Barulah kemudian Rokhmin secara panjang lebar menjelaskan Peta Jalan (Road Map) pembangunan kelautan dan perikanan menuju Indonesia Emas 2045.
Di akhir makalahnya, Rokhmin menjabarkan pentingnya peningkatan peran ISPIKANI dalam pembangunan kelautan dan perikanan. Antara lain, menyediakan informasi dan metoda ilmiah sebagai dasar bagi pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam perencanaan, implementasi, dan MONEV pembangunan, investasi, dan bisnis KP; menawarkan konsep (Road Map, Blueprint, RJPM) pembangunan KP yang komprehensif, holistik, dan benar kepada Pemerintah; dan mengidentifikasi hasil riset anggota ISPIKANI yang telah mencapai tahap prototipe (invention), secara teknologi sudah siap (technologically ready), dan menjodohkannya (match-making) dengan industriawan untuk mengihilirasi (pabrikasi) menjadi produk inovasi yang secara komersial dan ekonomi siap untuk dipasarkan.
Selain itu, menyampaikan saran dan kritik membangun kepada pemerintah, swasta maupun masyarakat; dan mengembangkan kegiatan bakti sosial: membantu nelayan supaya sejahtera, pemberian beasiswa, dan lain-lain.
“Selain sarjana perikanan konvensional, anggota ISPIKANI juga yang berlatar belakang pendidikan Bioteknologi Perairan, dan domain KP baru lainnya,” kata Prof Dr Rokhmin Dahuri.