REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tak ada alasan pemerintah membebankan kenaikan harga minyak dunia kepada harga jual BBM ke masyarakat, apalagi BBM bersubsidi. Sebab, hingga saat ini APBN masih surplus dan seharusnya masih bisa mengganjal subsidi.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Muhammad Faisal menilai, saat ini APBN dalam kondisi surplus. Hal ini didapat dari kenaikan harga komoditas yang berimbas pada windfall profit APBN. Meski secara belanja subsidi membengkak tetapi itu tidak seberapa dibandingkan windfall profit yang dikantongi pemerintah dari kenaikan harga komoditas.
Faisal mencatat, APBN semester I tahun ini surplus Rp 73 triliun. Lebih baik dibandingkan kondisi tahun lalu yang defisit Rp 270 triliun. Tahun ini, target defisit APBN 4,85 persen. Namun dengan kondisi kenaikan harga komoditas yang menambah windfall profit defisit APBN diturunkan jadi 3,9 persen.
"APBN jauh lebih baik kondisinya saat ini dibandingkan tahun lalu. Kalau kemudian ada opsi menambah kuota subsidi, beban belanja subsidi akan bertambah, BBM khususnya. Tapi ini tidak lantas membuat APBN defisitnya melewati target," ujar Faisal saat dihubungi Republika, Ahad (14/8/2022).
Faisal menilai, menaikan harga BBM khususnya Pertalite maupun Pertamax sekalipun malah akan memperburuk pertumbuhan ekonomi. Sebab, dengan kenaikan harga BBM, maka akan berdampak langsung pada inflasi.
"Saat ini target inflasi kita antara 4-5 persen. Tapi jika harga BBM naik lagi bukan tidak mungkin inflasi bisa naik jadi 6 persen," tambah Faisal.
Faisal mengatakan, semakin tinggi harga kenaikan BBM jika pemerintah memutuskan burden sharing kepada pemerintah maka akan semakin meningkatkan inflasi. "Harga Pertalite penggunaanya luas dan memerngaruhi harga barang lainnya termasuk harga pokok," tambah dia.
Sebelumnya, baik presiden maupun menteri keuangan dan menteri investasi kompak memberi sinyal kepada masyarakat akan menaikkan harga BBM. Pemerintah berdalih beban APBN atas subsidi energi sudah membengkak dan akan memperburuk kondisi APBN.