REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Di era keterkaitan global yang semakin rumit, kebijakan swasembada dalam produksi beberapa komoditas pangan utama dinilai tidak akan dapat menjamin keterjangkauan pangan ataupun mendorong diversifikasi pangan seperti yang diharapkan pemerintah.
“Kebijakan swasembada pangan tidak bisa menjamin keterjangkauan pangan, karena dalam dunia perdagangan global sekarang ini, impor pangan menjadi alternatif yang lebih mudah. Banyak faktor dalam produksi dan distribusi pangan domestik yang kurang efisien dan membuat biaya produksi menjadi tinggi,” kata Head of Agriculture Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta, dalam keterangan tertulisnya, Senin (8/8/2022).
Swasembada pangan, terutama untuk bahan pangan utama seperti beras, menjadi program pembangunan pertanian pemerintah yang strategis untuk mencapai ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup, mencapai mutu bahan pangan yang baik serta mengandung nilai gizi yang tinggi.
Ia menilai, Indonesia memang berhasil mempertahankan swasembada beras dan jagung setidaknya dalam lima tahun terakhir, di mana impor hanya menyumbang sangat kecil dari kebutuhan domestik. Namun, produktivitas tanaman pangan cenderung stagnan dalam periode yang sama.
Selama masa swasembada beras tersebut, produksi beras Indonesia memang berlebih berkat intensifikasi dan perluasan lahan. Namun itu dicapai dengan upaya panjang dan pembiayaan besar. Penekanan pada kuantitas juga mengakibatkan rendahnya kualitas beras.
Selain melalui swasembada, ketersediaan pangan yang terjangkau juga dapat dicapai dengan kombinasi produksi domestik dan impor atau dengan meningkatkan pendapatan rakyat untuk mendorong daya beli.
Menurutnya, impor pangan dapat dilakukan untuk memenuhi kekurangan pasokan antar masa panen atau ketika harga juga meningkat. Kebijakan perdagangan terbuka untuk pangan dengan diyakininya memungkinkan masyarakat memiliki akses kepada pangan bergizi dengan harga terjangkau.
Ia memaparkan, penelitian CIPS juga menemukan biaya produksi bahan pangan utama lebih tinggi daripada di beberapa negara pengekspor komoditas yang sama, terutama karena mekanisme produksi dan sistem distribusi yang kurang efisien di Indonesia.
Tingginya ongkos produksi dapat diatasi melalui investasi pertanian yang berkelanjutan, yang dapat mendorong modernisasi dan transfer teknologi.“Sistem pangan Indonesia masih dihadapkan pada berbagai masalah, seperti tingginya ongkos produksi, belum efisiennya proses produksi dan panjangnya rantai distribusi, dan kesemuanya berdampak pada harga,” ujar Aditya.
Swasembada pangan yang selama ini menjadi fokus pemerintah bukan hal yang mudah dicapai, terutama mengingat banyaknya faktor pada sektor pertanian Indonesia yang tidak mendukung tujuan tersebut.
Ia mengatakan, kebijakan swasembada pangan juga akan menghambat diversifikasi pangan yang sebenarnya juga merupakan jalan keluar untuk dapat menjamin ketersediaan pangan yang terjangkau.