REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University, Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS mengatakan, setidaknya ada tujuh prioritas PMN (Penyertaan Modal Negara) untuk BUMN Pangan. Pertama, investasi dan bisnis bahan pangan pokok secara terpadu (hulu-hilir): beras, kedelai, jagung, gula, bawang merah, bawang putih, cabai merah, dan daging sapi.
“Kedua, investasi dan bisnis bahan pangan pengganti beras secara terpadu: sagu, sorgum, porang, dan lainnya’ pengembangan industri hilir dan marketing: CPO, kakao, kopi, teh, buah-buahan, ikan dan seafood, dan lainnya,” kata Prof Rokhmin pada FGD “Pemberian PMN Bagi BUMN Guna Mendukung Ketahanan Pangan” yang diadakan oleh Pusat Kajian Anggaran Sekjen DPR RI, Senin (8/8/2022).
Ketiga, pengembangan usaha industri hortikultur secara terpadu. Keempat, pengembangan usaha perikanan budidaya terpadu: udang vaname, baramundi, lobster, rumput laut, kerang mutiara, kepiting, ikan nila, dan ikan patin.
Kelima, pengembangan usaha perikanan tangkap terpadu di Laut Arafura, Natuna, dan ZEE. Keenam, pengembangan usaha garam konsumsi dan garam industri terpadu.
“Dan ketujuh, pengembangan usaha pangan yang ready-to-cook, ready-to-eat, dan ready-to-prepare,” kata Prof Rokhmin Dahuri dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Sebelumnya, Rokmin memaparkan, ketahanan pangan sangat strategis bagi kemajuan, kesejahteraan dan kedaulatan bangsa. Ia mengemukakan sejumlah alasan. Pertama, suplai pangan global cenderung menurun akibat: (1) demand semakin meningkat karena pertambahan penduduk; (2) supply kian terbatas akibat alih fungsi lahan, Global Climate Change (GCC), dan kerusakan lingkungan lainnya; (3) negara-negara produsen pangan mulai membatasi ekspor pangannya karena GCC, pandemi Covid-19, dan perang Rusia vs Ukraina; dan (4) mafia pangan. “Kedua, akibat pandemi Covid-19, dunia menghadapi krisis pangan,” kata Prof Rokhmin mengutip data FAO (2020).
Ketiga, seiring dengan pertambahan penduduk, maka permintaan bahan pangan bakal terus meningkat. “Kekurangan/kelangkaan pangan dapat memicu gejolak sosial dan politik yang dapat mengakibatkan kejatuhan rezim pemerintahan,” ujar Rokhmin yang juga ketua umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI).
Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu lalu mengutip pidato Presiden Soekarno pada peletakan batu pertama pembangunan Gedung Fakultas Pertanian, IPB di Bogor, 27 April 1952, “Urusan pangan adalah hidup-matinya sebuah bangsa.”
Rokhmin juga mengutip data FAO (2000) yang menyatakan, “Suatu negara dengan penduduk lebih dari 100 juta jiwa tidak mungkin bisa maju, sejahtera, dan berdaulat, bila kebutuhan pangannya bergantung pada impor.”
Rokhmin mengatakan, sebagai negara maritim dan agraris tropis terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi sangat besar untuk berdaulat pangan, dan bahkan feeding the world (pengekspor pangan utama).
Menurutnya, Indonesia perlu melakukan revitalisasi dan pengembangan industri pengolahan pangan. Hal itu penting untuk mencapai kedaulatan pangan.
“Penguatan dan pengembangan industri pengolahan dan pengemasan semua komoditas pangan semaksimal mungkin, kecuali beberapa komoditas pangan tertentu,” ujarnya.
Supaya produk olahan pangan Indonesia kompetitif di tingkat global , kata dia, lakukan bench marking dengan negara-negara produsen pangan olahan terbaik di dunia (Jepang, Korsel, Thailand, Singapura, Australia, Canada, AS, Uni Eropa, dan Turki).
Terkait BUMN Pangan, Rokhmin menyebut Indikator Kinerja Utama (IKU) BUMN Pangan adalah profitable (untung bagi BUMN) secara optimal; produsen komoditas pangan (petani, peternak, nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, dan lainnya) harus bisa hidup sejahtera (pendapatan lebih dari 300 dolar AS/orang/bulan); produktivitas, efisiensi, dan daya saing di seluruh lini (rantai) usaha harus tinggi dan berkelanjutan; ramah lingkungan dan sosial; dan berkontribusi signifikan bagi terwujudnya kedaulatan/ketahanan pangan nasional.
Ia juga mengemukakan kebijakan politik ekonomi yang kondusif untuk mencapai kedaulatan pangan. Yakni, kebijakan ekspor-impor pangan harus mengutamakan national interest (kedaulatan pangan nasional) ; kurangi dan stop subsidi input usaha onfarm, khususnya tanaman pangan pokok, dan ganti double subsidy untuk output pertanian; perlu skim kredit perbankan khusus untuk sektor pangan, terutama yang belum kompetitif, dengan suku bunga relatif rendah dan persyaratan relatif lunak (bench marking dengan negara-negara pertanian utama lainnya); dan iklim investasi dan ease doing business yang kondusif.
Rokhmin menyebutkan, supaya petani, nelayan, dan produsen pangan lainnya bisa hidup lebih sejahtera, maka setiap unit bisnis pangan harus memenuhi skala ekonominya. Yakni besaran unit usaha yang menghasilkan keuntungan bersih yang mensejahterakan pelaku usaha, minimal 300 dolar AS (Rp 4,5 juta)/orang/bulan (Bank Dunia, 2010). Contohnya, skala ekonomi untuk usaha padi sawah itu 2 ha (IPB, 2018), usaha ternak ayam petelor 3.000 ekor, usaha kebun sawit 2,5 ha (Kementan, 2010), dan usaha budidaya udang Vaname 350 m2 kolam bundar (Dahuri et al., 2019).
“Selain itu, penting menerapkan Integrated Supply Chain Management System, menggunakan teknologi mutakhir pada setiap mata rantai pasok, dan ramah lingkungan,” kata Rokhmin.