REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertemuan ketiga para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 (FMCBG), kembali menghasilkan tambahan negara-negara yang menyatakan komitmennya berkontribusi kepada pembentukan dana perantara keuangan (Financial Intermediary Fund/FIF) untuk kesiapsiagaan, pencegahan, dan respons pandemi.
"Jadi kita sepakat bahwa kita perlu melanjutkan semangat dalam kolaborasi dan kerja sama, itu sangat terlihat dan itulah semangat G20 yang menurut saya sangat kita banggakan, masih bisa dipertahankan," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dalam rilis yang diterima di Jakarta, Sabtu (16/7/2022) malam.
Ia mengemukakan, Italia, China, Uni Emirat Arab, Jepang, dan Korea Selatan menyusul memberikan komitmen kontribusinya pada FIF. Dengan demikian, ujar dia, maka jumlah dana yang saat ini terhimpun berada di kisaran 1,28 miliar dolar Amerika Serikat (AS), atau naik sekitar 0,18 miliar dolar AS dari pertemuan sebelumnya.
Direncanakan FIF akan mulai beroperasi penuh pada tahun 2022 ini dengan Bank Dunia sebagai Wali Amanat dan WHO sebagai pendukung utamanya.
Hasil positif lain yang didapat dari pertemuan kali ini ialah adanya kesadaran dari tiap negara G20 untuk bekerja sama keluar dari krisis ekonomi. Beberapa di antaranya berkaitan dengan keberlanjutan infrastruktur, ketahanan pangan, hingga ekonomi dan keuangan digital.
Meski pertemuan FMCBG, berakhir tanpa komunike atau pernyataan bersama. Namun, beberapa keputusan yang disepakati tersebut, sedikit banyak menunjukkan keberhasilan Indonesia dalam menyatukan berbagai pandangan dunia.
Sri Mulyani menegaskan, hal tersebut bukan berarti pertemuan di Bali itu gagal, namun Indonesia menghormati semua pandangan yang berkembang dalam pertemuan. "Ini adalah situasi yang menantang dan sulit karena ketegangan politik. Jadi kami sangat menyadari konteksnya, bagaimana sebenarnya kami melakukan dan mendorong dan menyelenggarakan pertemuan ini," ujar dia.
Sedianya, selaku tuan rumah, Indonesia telah menyediakan 14 paragraf Chair Summary yang akan diusulkan sebagai komunike. Dari 14 paragraf itu, terdapat 2 paragraf yang gagal mendapat kesepakatan dari tiap anggota negara G20.
Dua paragraf yang tidak mendapatkan kesepakatan bulat itu berkaitan dengan ketegangan politik dan pendirian masing-masing negara anggota. "Tentu saja kami benar-benar menempatkan itu dalam konteks bahwa di satu sisi ini mencerminkan semua pandangan anggota ini dan di sisi lain ada masalah yang belum bisa mereka rekonsiliasi," kata Sri Mulyani.
Secara prinsip dan historis, lanjutnya, G20 sedianya merupakan forum yang dibentuk membahas isu perekonomian. Namun, situasi saat ini membuat adanya irisan antara tensi politik dan isu ekonomi itu sendiri.