Rabu 13 Jul 2022 16:40 WIB

Sri Mulyani: Indonesia Butuh 243 Miliar Dolar AS Kurangi Emisi Karbon 

Anggaran sebesar itu pun hanya untuk sektor ketenagalistrikan saja.

Rep: Novita Intan/ Red: Fuji Pratiwi
Menteri Keuangan RI Sri Mulyani. Pemerintah menyebut Indonesia membutuhkan dana sebesar 243 miliar dolar AS atau setara Rp 3.500 triliun untuk mengurangi emisi karbon dan gas rumah kaca.
Foto: dok. Kemenkeu
Menteri Keuangan RI Sri Mulyani. Pemerintah menyebut Indonesia membutuhkan dana sebesar 243 miliar dolar AS atau setara Rp 3.500 triliun untuk mengurangi emisi karbon dan gas rumah kaca.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pemerintah menyebut Indonesia membutuhkan dana sebesar 243 miliar dolar AS atau setara Rp 3.500 triliun untuk mengurangi emisi karbon dan gas rumah kaca. Hal ini sejalan dengan target Nationally Determined Contribution (NDC) untuk menurunkan emisi karbon hingga 29 persen dengan upaya sendiri, dan 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan dana tersebut digunakan untuk menyediakan listrik dari energi baru dan terbarukan yang lebih hijau. "(Dana sebesar 243 miliar dolar AS) Ini hanya untuk sektor ketenagalistrikan," ujarnya saat webinar Sustainable Finance: Instruments and Management in Achieving Sustainable Development in Indonesia, Rabu (13/7/2022).

Baca Juga

Menurutnya dana yang dibutuhkan untuk menurunkan emisi bersih dan menaikkan produksi listrik lebih tinggi dari target belanja negara pada APBN 2022 sebesar Rp 3.106 triliun. "APBN kita sekitar Rp 3.000 triliun. Ini perlu dana besar yang perlu dimobilisasi," ucapnya.

Sri Mulyani juga menyebut pemerintah membutuhkan banyak bantuan untuk mencapai target NDC. Misalnya, peran swasta ikut turun tangan menggelontorkan dana untuk memproduksi listrik sekaligus mengurangi emisi karbon di dalam negeri.

Ia juga meminta bantuan kepada negara lain untuk menutup kebutuhan biaya memproduksi listrik sekaligus mengurangi emisi bersih di Indonesia. "Kami ada estimasi biaya segini, alokasi dana dari pemerintah segini, kami bilang ini ada financing gap. Ini siapa yang bayar? Kalau tidak ada yang mau bayar maka akan diskusi terus. Ini bicara tentang proyek yang biayanya mahal," ucapnya.

Menurutnya untuk mencapai target NDC sebesar 29 persen, sektor ketenagalistrikan perlu mengurangi emisi karbon hingga 314 juta ton setara karbondioksida. "Angka itu menjadikan sektor ketenagalistrikan penyumbang pengurang emisi karbon kedua terbesar setelah sektor kehutanan," kata Sri Mulyani.

Adapun untuk mencapai target NDC sebesar 41 persen, sektor ketenagalistrikan perlu mengurangi emisi karbon hingga 446 juta ton setara karbondioksida pada 2030. "Pendanaan untuk mengurangi emisi karbon tidak hanya akan datang dari uang pemerintah. Pemerintah akan berperan, tapi peran swasta dan pembiayaan internasional juga penting," ucapnya.

Sri Mulyani menyebut jumlah masyarakat di Indonesia terus bertambah. Maka demikian, kebutuhan listrik juga meningkat. Maka itu, saat ini pemerintah juga masih menyusun teknis pengenaan pajak karbon untuk memberikan insentif bagi pelaku usaha yang telah berhasil mengurangi emisi karbon. 

"Pemerintah juga masih mendiskusikan terkait harga karbon yang paling adil. Sayangnya pasar karbon global tidak memiliki harga karbon yang universal. Ini perdebatan serius dalam pertemuan Menteri Keuangan negara anggota G20 terkait harga karbon yang adil yang mencerminkan tanggung jawab umum yang berbeda," ucapnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement