REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk menyatakan komitmen untuk menjadi agen transformasi. Hal ini guna mendukung penerapan ESG atau prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola yang baik.
Direktur Manajemen Risiko BNI David Pirzada mengatakan perseroan memainkan peran penting dalam mempromosikan praktik bisnis yang lebih bertanggung jawab dengan mempertimbangkan prinsip ESG.
"Tentunya kami akan proaktif dalam implementasi prinsip ESG. BNI berperan menjadi salah satu agen transformasi dalam implementasi ESG untuk mendukung keuangan berkelanjutan,” ujarnya dalam keterangan tulis, Senin (4/7/2022).
Menurutnya perseroan mendorong sejumlah program penerapan ESG sebagai standar kinerja operasional perusahaan yang berkelanjutan. Dalam penerapan ESG, perseroan berpegang pada prinsip 3P yakni profit, people dan planet.
“BNI juga melanjutkan dengan menciptakan infrastruktur serta standar-standar yang dapat diikuti oleh semua lini bisnis,” ucapnya.
Dia melanjutkan perseroan pun telah mengklasifikasikan portofolio green berdasarkan beberapa kategori dari kegiatan bisnis yang berkelanjutan.
“Seperti yang kami buat pada 2020, total kategori kegiatan usaha berkelanjutan dari total portofolio pinjaman BNI sebesar 28 persen atau sekitar Rp 168 triliun,” ucapnya.
Menurutnya portofolio tersebut masih didominasi oleh UMKM yang mana kegiatan usaha kecil menengah sekitar Rp 113 triliun dan kegiatan efisiensi energi yang mencapai sekitar Rp 14 triliun atau sekitar delapan persen dari total CSPA.
Selain itu BNI juga menerbitkan obligasi hijau senilai Rp 5 triliun yang dikembangkan berdasarkan prinsip pedoman dalam obligasi hijau dengan dana yang akan digunakan untuk memfasilitasi proyek-proyek dalam kategori kegiatan usaha lingkungan,
“Jadi, dari book building yang telah dilakukan, yang telah over subscribe sebanyak empat kali, yang mengindikasikan bahwa investor mengapresiasi komitmen BNI. Jadi, apresiasi yang cukup tinggi atas komitmen BNI terhadap keuangan keberlanjutan cukup tinggi atas komitmen BNI terhadap keuangan keberlanjutan cukup tinggi,” ucapnya.
Lebih lanjut David menyampaikan Chief APAC Economist Economic Solutions Moody’s Analytics Steve Cochrane mengatakan semua pihak harus mau berpikir jangka panjang investasi dengan output dan outcome berjangka panjang minimal 30 tahun ke depan.
Hal tersebut ditujukan untuk menjamin pertumbuhan produktivitas dan penyerapan tenaga kerja di tengah periode transisi industri. Terlebih dalam menerapkan transisi, perusahaan kedap membutuhkan biaya yang tinggi sehingga pelaksanaan program turunannya juga harus hati-hati dan terukur.
"Kami melihat ada banyak kebijakan pembangunan ekonomi stabil yang sangat baik selama delapan tahun terakhir dan sebagian dari itu telah menjadi modal yang kuat dalam infrastruktur dan saya berpikir akan terus berkembang karena masih banyak yang harus dilakukan," katanya.