Jumat 24 Jun 2022 12:24 WIB

SPI: Harga TBS Sawit Rp 300 per kg, Sentuh Titik Nadir

Pemerintah diminta mengeluarkan kebijakan yang solutif terkait hatga sawit.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Sejumlah truk pengangkut Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit mengantre untuk pembongkaran di salah satu pabrik minyak kelapa sawit milik PT.Karya Tanah Subur (KTS) Desa Padang Sikabu, Kaway XVI, Aceh Barat, Aceh, Selasa (17/5/2022). Harga jual Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit tingkat petani sejak dua pekan terakhir mengalami penurunan dari Rp2.850 per kilogram menjadi Rp1.800 sampai Rp1.550 per kilogram, penurunan tersebut pascakebijakan pemeritah terkait larangan ekspor minyak mentah atau crude palm oil (CPO).
Foto: ANTARA/Syifa Yulinnas
Sejumlah truk pengangkut Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit mengantre untuk pembongkaran di salah satu pabrik minyak kelapa sawit milik PT.Karya Tanah Subur (KTS) Desa Padang Sikabu, Kaway XVI, Aceh Barat, Aceh, Selasa (17/5/2022). Harga jual Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit tingkat petani sejak dua pekan terakhir mengalami penurunan dari Rp2.850 per kilogram menjadi Rp1.800 sampai Rp1.550 per kilogram, penurunan tersebut pascakebijakan pemeritah terkait larangan ekspor minyak mentah atau crude palm oil (CPO).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tepat satu bulan pasca Presiden Jokowi mencabut larangan ekspor crude palm oil (CPO), harga tandan buah segar (TBS) sawit justru semakin jatuh. Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih, mengatalan, di Pasaman Barat, Sumatera Barat, contohnya harga TBS sudah Rp 600 per kg.

"Ini sudah sangat luar biasa, sawit yang jadi komoditas ekspor seperti tidak ada harganya sama sekali," kata Henry dalam keterangan resminya, Kamis (23/6/2022). 

Baca Juga

Henry memaparkan, harga TBS sawit yang diterima para petani SPI di wilayah lain juga kompak mengalami tren penurunan yang signifikan.

"Bahkan di Tanjung Jabung Timur, harga TBS mencapai di bawah Rp 500 per kg kalau aksesnya jauh dari jalan. Ini kan sudah kelewatan. Laporan hari ini ada yang sampai Rp 300 per kg," sambungnya.

Menanggapi hal ini, Henry mendesak pemerintah untuk segera mengeluarkan kebijakan responsif dan solutif.

"Ini sudah darurat. Petani sawit sudah menjerit, sudah pada titik nadir, harga TBS jauh di bawah harga impasnya, ini artinya petani sudah sangat merugi, keterlaluan," keluhnya.

Henry menjelaskan, terjun bebasnya harga TBS ini karena Indonesia dibawah cengkraman korporasi global sawit. 

"Mendesak sudah ini agar kita membangun sistem persawitan di Indonesia yang tidak tergantung dari pasar internasional yang dikuasai oleh korporasi-korporasi global. Hajat hidup petani, orang banyak, dikuasai oleh cukong-cukong transnasional perseorangan yang pemerintah kita pun hampur tidak berdaya melawannya," paparnya.

Henry menegaskan, SPI meminta pemerintah melalui penegak hukum agar menindak perusahaan sawit yang membeli TBS di bawah harga pemerintah.

"Jadi kalau ada pabrik kelapa sawit (PKS) yang membeli dengan TBS petani dengan harga rendah harus ditindak. Bukan tidak memungkin agar PKS tersebut ditutup, lalu diambil alih oleh pemerintah, ini levelnya udah level krisis," katanya. 

Lebih lanjut, kata Henry, izin ekspor perusahaannya juga perlu dicabut. Dana segar yang ada di di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) bisa dialokasikan untuk atasi masa krisis ini sehingga bukan hanya memanjakan korporasi. 

Pemerintah harus mendorong pembangunan pabrik-pabrik mini kelapa sawit di tingkat lokal, juga pabrik minyak goreng dan minyak makan merah yang pengelolaannya berikan kepada petani melalui koperasi.

Henry melanjutkan, di tingkat wilayah, pemda harus membuka posko pengaduan yang menerima laporan petani, ketika TBS mereka dibeli dengan harga yang tidak layak, di bawah harga ketetapan pemerintah.

“Perkebunan sawit harus diurus oleh rakyat, didukung oleh pemerintah dan BUMN, bukan oleh korporasi,” tegasnya.

Henry menyampaikan, perkebunan sawit harus diserahkan pengelolaannya kepada petani dikelola usaha secara koperasi mulai dari urusan tanaman, pabrik CPO dan turunannya.

Henry melanjutkan, negara jugalah melalui BUMN yang mengurus turunan strategis produksi sawit. “Korporasi swasta bisa diikutkan di urusan pengolahan industri lanjutan, misalnya untuk pabrik sabun, kosmetik, obatan-obatan, dan usaha-usaha industri turunan lainnya,” kata dia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement