REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan saat ini perlu menatap kedepan paska ekspor crude palm oil (CPO) dibuka, bagaimana pemerintah bisa kendalikan harga minyak goreng yang acuannya adalah mekanisme pasar.
"Pengusaha yang mengacu pada harga dipasar internasional dikhawatirkan menaikkan harga minyak goreng secara signifikan khususnya minyak goreng kemasan. Selama aturan minyak goreng boleh mengacu pada mekanisme pasar maka harga yang saat ini rata-rata Rp 24.500 per liter dipasar tradisional bisa meningkat lebih tinggi," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Sabtu (21/5/2022).
Menurutnya, ada tiga solusi yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah segera setelah pencabutan larangan ekspor dilakukan. Pertama, tugaskan Bulog dan beri kewenangan untuk ambil alih setidaknya 40 persen dari total distribusi minyak goreng.
"Selama ini mekanisme pasar gagal mengatur marjin yang dinikmati para distributor migor. Bulog nantinya membeli dari produsen minyak goreng dengan harga wajar, dan melakukan operasi pasar atau menjual sampai ke pasar tradisional," kata dia.
Kedua, hapus kebijakan subsidi ke minyak goreng curah dan ganti dengan minyak goreng kemasan sederhana. Pengawasan minyak goreng kemasan jauh lebih mudah dibanding curah.
Ketiga, jika masalahnya adalah sisi pasokan bahan baku didalam negeri maka program biodisel harus mengalah. Target biodisel harus segera direvisi, dan fokuskan dulu untuk penuhi kebutuhan minyak goreng.
"Tentu tiga kebijakan ini butuh penyegaran pejabat pelaksana, salah satunya melalui reshuffle menteri yang selama ini gagal menyelesaikan masalah migor," kata dia.
Ia menambahkan pencabutan larangan ekspor crude palm oil (CPO) dan minyak goreng (migor) bukti bahwa kebijakan pengendalian harga minyak goreng lewat stop ekspor total seluruh produk CPO adalah kesalahan fatal.
Harga migor di level masyarakat masih tinggi, petani sawit dirugikan dengan harga yang TBS anjlok karena oversupply CPO didalam negeri. Kehilangan penerimaan negara lebih dari Rp 6 T, belum ditambah dengan tekanan pada sektor logistik -perkapalan yang berkaitan dengan aktivitas ekspor CPO.
Kehilangan devisa sudah terlanjur cukup tinggi imbas pelarangan ekspor CPO, yang mempengaruhi stabilitas sektor keuangan. Pelemahan kurs rupiah terhadap dollar AS dipasar spot sebesar tiga persen dalam sebulan terakhir salah satunya disumbang dari pelarangan ekspor.
"Collateral damage-nya sudah dirasakan ke berbagai sektor ekonomi. Harapannya kebijakan berbagai komoditas kedepannya tidak meniru pelarangan ekspor CPO yang tidak memiliki kajian matang. Cukup terakhir ada kebijakan proteksionisme yang eksesif seperti ini," kata dia.
Sebelumnya diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mengizinkan ekspor minyak goreng per Senin, 23 Mei mendatang. Menurut Jokowi, kebijakan ini diputuskan dengan mempertimbangkan kondisi pasokan dan harga minyak goreng saat ini, serta banyaknya pekerja di industri sawit yang akan terdampak.
“Berdasarkan kondisi pasokan dan harga minyak goreng saat ini, serta mempertimbangkan adanya 17 juta orang tenaga di industri sawit baik petani, pekerja, dan juga tenaga pendukung lainnya, maka saya memutuskan bahwa ekspor minyak goreng akan dibuka kembali pada Senin 23 Mei 2022,” kata Jokowi dalam pernyataan pers terkait pembukaan kembali ekspor minyak goreng di Istana Merdeka, Kamis (19/5/2022).