REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengapresiasi langkah Presiden Joko Widodo untuk menghentikan ekspor minyak sawit (CPO) agar ketersediaan minyak goreng segera merata dengan harga yang terjangkau. Sekretaris Jenderal SPKS, Mansuetos Darto, mengatakan, pihaknya meyakini langkah-langkah yang di ambil presiden yakni demi mengamankan ketersediaan bahan minyak goreng untuk masyarakat.
"Sebab para pelaku usaha selalu sibuk memikirkan suplai produk olahannya ke luar negri karena menguntungkan dan melupakan tugasnya memenuhi kebutuhan dalam negeri," katanya, dalam pernyataan resminya, Ahad (24/4/2022),
Namun, dampak dari adanya kebijakan itu, ia mengatakan mulai terjadi penurunan harga tandan buah segar (TBS). Terutama di wilayah Sekadau, Kalimantan sekitar Rp 400 per kilogram (kg) dan di Jambi Rp 500 per kg.
Meski demikian, SPKS memberikan solusi untuk pemerintah agar penurunan harga TBS petani dapat diredam. Menurut dia, perlu ada pencatatan di pabrik terkait identitas petani yang memasok TBS ke pabrik.
Sebab, kata Darto, situasi saat ini ini akan menguntungkan pabrik perusahaan karena ketika kembali pada situasi normal, mereka akan menjual CPO dengan harga normal tetapi mereka membeli Buah sawit dari petani dengan harga murah. "Karena itu, pencatatan di pabrik harus jelas, sehingga keuntungan mereka tadi saat situasi normal bisa dikembalikan kepada petani uangnya," kata dia.
Solusi lain, SPKS menyarankan agar pemerintah mengalokasikan dana Sawit di BPDP-KS dengan program inovatif. Misalnya dengan bantuan pupuk atau berdasarkan kebutuhan petani. Bantuan itu penting, pasalnya, ketika harga turun, petani tidak mampu untuk membeli pupuk.
Terlepas dari berbagai kebijakan pemerintah yang dikeluarkan, ia menilai masalah minyak goreng akan selalu terjadi ke depannya. Sebab pelaku usaha minyak goreng mengusai hulu hilir minyak sawit yang dikuasai oleh segelintir perusahaan.
Sayangnya, negara tidak memiliki pabrik pengolahan minyak goreng. Ia pun mendorong agar Presiden Jokowi memperkuat koperasi petani ataupun badan usaha negara untuk mengembangkan refinery minyak goreng baik skala mikro maupun skala besar.
"Agar negara selalu tidak kalah dengan segelintir orang itu. Ini juga bahaya bagi keamanan ekonomi dan politik dalam negri. Dengan kartelisasi saja, bisa memporakporandakan stabilitas politik dalam negeri," katanya.