REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia berkewajiban berkontribusi dalam pengurangan emisi karbon. Sayangnya, untuk bisa mencapai target ini butuh dana yang tidak sedikit.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana menuturkan untuk semua proyek transisi energi menuju emisi nol karbon di 2060 paling tidak Indonesia butuh 29 miliar dolar AS per tahun atau sedikitnya Rp 1 triliun per tahun.
"Kebutuhan investasi supaya mencapai karbon netral di 2060 memerlukan biaya besar," tegas Dadan, Jumat (18/2/2022).
Ia merinci, untuk sektor kelistrikan saja butuh 1.042 miliar dolar AS hingga 2060 mendatang untuk pembangunan pembangkit EBT. Sedangkan kelengkapannya yaitu transmisi butuh 350 miliar dolar AS.
"Kecukupan finansial memiliki peran strategis dalam percepatan transisi energi. Pemerintah akan mengoptimalkan posisi Indonesia sebagai Presidensi G20 di tahun 2022 untuk menggaet pendanaan yang inovatif dan menguntungkan," ujar Dadan.
Dadan menjelaskan, pemerintah memiliki skema pendanaan yang variatif dalam mencari dukungan investasi antarnegera maupun lembaga internasional. Indonesia terbuka bagi kerja sama internasional, termasuk dalam urusan investasi asing, skema pendanaan yang inovatif, serta transfer teknologi berdasarkan semangat kemitraan yang setara dan saling menguntungkan.
"Kami mendorong blended finance dan sedang menyusun Peraturan Presiden terkait hal ini. Bagaimana kita nanti akan memanfaatkan pendanaan tidak hanya di dalam negeri, tidak hanya yang berbasis komersial perbankan, tapi juga dari filantropis, mulitnasional yang bermaksud untuk mendukung pengembangan EBT di Indonesia," ujar Dadan.
Model pendanaan blended finance, papar Dadan, merupakan dana perwalian perubahan iklim Indonesia akan memfasilitasi perolehan dana dari para donor, yaitu Asian Development Bank, European Investment Bank (hibah/pinjaman) dan World Bank.
Selanjutnya, SDG Indonesia Satu merupakan platform terintegrasi untuk mendukung proyek terkait Sustainable Development Goal yang terdiri atas empat pilar, yaitu fasilitas pengembangan, de-risking, pembiayaan dan ekuitas. Kemudian, investasi anggaran non pemerintah yang mendorong sektor swasta dalam pengembangan proyek infrastruktur strategis nasional. Skema ini memfasilitasi investor dalam pembiyaan ekuitas (pembiayaan ekuitas langsung dan instrumen investasi ekuitas).
Adapula Tropical Landscape Finance Facility (TLFF), bertujuan memanfaatakan pendanaan publik untuk penggunaan lahan yang berkelanjutan, termasuk di bidang restorasi ekosistem dan investasi EBT. Selain itu, ada skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha atau Public Private Partnership (KPBU/PPP) adalah kontrak jangka panjang antara pihak swasta dan entitas pemerintah untuk menyediakan aset layanan publik berupa Project Development Facility, Viability Gap Found, penjaminan infrastruktur & pembayaraan ketersediaan.
"Terakhir, dari perbankan komersial dimana Otoritas Jasa Keuangan mewajibkan persentase tertentu dari portofolio kredit untuk pembiayaan proyek hijau," ujar Dadan.