REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perbedaan harga antara pupuk nonsubsidi dan yang bersubsidi berkontribusi pada terus menurunnya produktivitas kepala sawit di Indonesia karena petani tidak maksimal dalam mengakses dan menggunakan pupuk yang dibutuhkan untuk menjaga produktivitas.
“Disparitas harga antara pupuk bersubsidi dan tidak bersubsidi menyebabkan penggunaan input pupuk yang tidak optimal di kalangan petani sehingga menghambat hasil yang optimal,” kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta, dikutip Republika.co.id, Kamis (10/2/2022).
Biaya pupuk besar pengaruhnya pada tingkat penggunaanya oleh petani. Mereka dapat mengkonsumsi pupuk bersubsidi yang umumnya pupuk kimia, secara eksesif dan bila pupuk bersubsidi langka, mereka akan lebih memilih mengurangi penggunaannya daripada membeli pupuk nonsusidi yang lebih mahal.
Munculnya pasar sekunder pupuk bersubsidi juga dapat mendistorsi harga dan memperburuk akses petani terhadap pupuk yang terjangkau.
Pupuk menyita sekitar 30-35 persen dari total biaya produksi kelapa sawit hingga tingginya biaya pupuk akan secara signifikan mempengaruhi produksi minyak sawit petani kecil yang menyumbang hingga 34 persen dari produksi minyak sawit Indonesia.
Pada pertentahan 2021, misalnya, harga pupuk berbasis nitrogen dan fosfat yang banyak digunakan petani kelapa sawit naik 50-80 persen karena gangguan rantai pasok, kenaikan biaya angkut, permintaan yang lebih tinggi, dan biaya input yang lebih tinggi. Harga tinggi ini mendorong petani kecil untuk mengurangi penggunaan pupuk dan ini akan menurunkan hasil.
Kenaikan harga pupuk nonsubsidi juga mengurangi pilihan input pertanian yang tepat untuk kondisi lahan spesifik yang diusahakan petani.
Bagi sebagian besar petani Indonesia yang merupakan petani kecil dengan luas lahan kurang dari 2 ha, pupuk nonsubsidi terkadang digunakan sebagai alternatif jika pupuk bersubsidi tidak tersedia atau untuk memenuhi kebutuhan unsur hara tertentu.
Perkebunan besar seperti untuk sawit dan tebu, tidak behak mengakses pupuk bersubsidi hingga harga pupuk nonsubsidi yang tinggi bisa berakibat kepada pengurangan produktivitas atau kenaikan harga pada komoditas-komoditas perkebunan ini.
Penelitian CIPS menemukan, dalam menangani kesenjangan antara ketersediaan dan jumlah pupuk bersubsidi yang dibutuhkan dan diminta petani, pemecahannya tidak sesederhana hanya menambah pasokan. Penelitian juga menemukan bahwa kesenjangan alokasi pupuk bersubsidi bukanlah kelemahan utama program subsidi pupuk.
Aditya merekomendasikan pemerintah memberikan akses lebih besar kepada pupuk nonsubdisi lewat pembayaran langsung (direct payment) karena dana akan langsung masuk ke rekening penerima dan tidak memerlukan waktu distribusi panjang seperti pada bantuan barang.
Mekanisme ini juga meniadakan kesenjangan harga yang timbul dari penerapan subsidi terhadap merek pupuk tertentu saja. Reformasi program subsidi input pemerintah ke mekanisme pasar penuh juga dapat dilakukan secara bertahap.