REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menerbitkan regulasi tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap. Ini dilakukan sebagai upaya pemerintah dalam mencapai target energi baru terbarukan sebesar 23 persen pada 2025.
Peraturan ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS atap yang terhubung pada jaringan tenaga listrik pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum ini merupakan penyempurnaan dari peraturan sebelumnya sebagai upaya memperbaiki tata kelola dan keekonomian PLTS atap. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Dadan Kusdiana mengatakan regulasi ini juga sebagai langkah untuk merespons dinamika yang ada dan memfasilitasi keinginan masyarakat untuk mendapatkan listrik dari sumber energi terbarukan, serta berkeinginan berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca.
"Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS atap ini dapat dilaksanakan dan telah didukung oleh seluruh stakeholder sesuai hasil rapat koordinasi yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada 18 Januari 2022," kata Dadan dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (21/1/2022).
Pada rapat tersebut telah disepakati beberapa hal yang menjadi perhatian dalam implementasi Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2021, yang berdampak nasional di antaranya potensi kenaikan Biaya Pokok Pembangkitan (BPP), subsidi dan kompensasi, potensi kehilangan penjualan PLN serta potensi pendapatan dari kapasitas pengisian listrik. Dampak APBN yang berkaitan dengan potensi peningkatan subsidi dan kompensasi dipengaruhi oleh pertumbuhan pemintaan listrik atau dengan kata lain semakin besar permintaan listrik, maka dampak terhadap subsidi dan kompensasi semakin kecil.
Hal ini menjadi penting agar program pemerintah berkenaan penciptaan permintaan listrik untuk dapat dipercepat. Kementerian ESDM memproyeksikan target PLTS atap sebesar 3,6 gigawatt yang akan dilakukan secara bertahap hingga tahun 2025.
Program ini akan berdampak positif pada berbagai hal, di antaranya berpotensi menyerap 121.500 orang tenaga kerja, berpotensi meningkatkan investasi sebesar Rp 45 triliun sampai dengan Rp 63,7 triliun untuk pembangunan fisik PLTS dan Rp 2,04 triliun sampai Rp4,1 triliun untuk pengadaan kWh Exim.
Kemudian, program ini akan mendorong tumbuhnya industri pendukung PLTS di dalam negeri dan meningkatkan daya saing dengan semakin tingginya Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Kemudian, mendorong produk hijau sektor jasa dan industri hijau untuk menghindari penerapan carbon border tax di tingkat global.
Program ini akan menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 4,58 juta ton karbon dioksida ekuivalen. Juga, berpotensi mendapatkan penerimaan dari penjualan nilai ekonomi karbon sebesar Rp 60 miliar per tahun (asumsi harga karbon 2 dolar AS per ton karbon dioksida ekuivalen).
Sebagai informasi, proses pelayanan sistem PLTS Atap selama masa transisi masih dilakukan secara manual, belum berbasis aplikasi.
Substansi pokok dari Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021.
- Ketentuan ekspor kWh listrik ditingkatkan dari 65 persen menjadi 100 persen
- Kelebihan akumulasi selisih tagihan dihilangkan dan diperpanjang dari tiga bulan menjadi enam bulan
- Jangka waktu permohonan PLTS atap menjadi lebih singkat dengan durasi lima hari tanpa penyesuaian perjanjian jual beli listrik (PJBL) dan 12 hari dengan adanya penyesuaian PJBL
- Mekanisme pelayanan berbasis aplikasi untuk kemudahan penyampaian permohonan, pelaporan, dan pengawasan program PLTS atap
- Pembukaan peluang perdagangan karbon dari PLTS atap
- Tersedianya Pusat Pengaduan PLTS atap untuk menerima pengaduan dari pelanggan PLTS atap atau Pemegang IUPTLU
- Perluasan pengaturan tidak hanya untuk pelanggan PLN saja tetapi juga termasuk pelanggan di wilayah usaha non-PLN (Pemegang IUPTLU).