Ahad 16 Jan 2022 13:06 WIB

AS Bicarakan Pasokan Gas ke Eropa

Uni Eropa bergantung pada Rusia untuk sekitar sepertiga dari pasokan gasnya.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Nidia Zuraya
Proyek pipa gas Rusia-Jerman, Nord Stream.
Foto: Reuters
Proyek pipa gas Rusia-Jerman, Nord Stream.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Reuters melaporkan Pemerintah Amerika Serikat (AS) telah mengadakan pembicaraan dengan beberapa perusahaan energi internasional mengenai rencana darurat untuk memasok gas alam ke Eropa jika konflik antara Rusia dan Ukraina mengganggu pasokan Rusia. Amerika Serikat khawatir Rusia sedang mempersiapkan kemungkinan serangan militer di sana meski Rusia telah menyangkalnya.

Uni Eropa bergantung pada Rusia untuk sekitar sepertiga dari pasokan gasnya, dan sanksi AS atas konflik apa pun dapat mengganggu pasokan itu. Setiap gangguan pasokan gas Rusia ke Eropa akan memperburuk krisis energi yang disebabkan oleh kekurangan bahan bakar. 

Baca Juga

Rekor harga listrik telah mendorong tagihan energi konsumen serta biaya bisnis dan memicu protes di beberapa negara. "Pejabat Departemen Luar Negeri AS sedang mendekati perusahaan untuk menanyakan dari mana pasokan tambahan mungkin berasal jika dibutuhkan," kata dua sumber anonim dari industri yang mengetahui diskusi tersebut mengatakannya kepada Reuters.

Perusahaan mengatakan kepada pejabat pemerintah AS bahwa pasokan gas global terbatas dan hanya ada sedikit gas yang tersedia untuk menggantikan volume besar dari Rusia. Sumber dari kementerian luar negeri AS mengatakan diskusi dengan perusahaan energi itu dipimpin oleh penasihat senior untuk keamanan energi Amos Hochstein.

Kementerian Luar Negeri tidak meminta perusahaan untuk meningkatkan produksi. "Kami telah membahas berbagai kemungkinan dan kami telah membicarakan semua yang kami lakukan dengan mitra dan sekutu negara bangsa kami," kata sumber itu.

Mereka juga telah melakukan diskusi ini dengan Komisi Eropa. Selain menanyakan kepada perusahaan kapasitas apa yang mereka miliki untuk meningkatkan pasokan, pejabat AS juga menanyakan apakah perusahaan memiliki kapasitas untuk meningkatkan ekspor dan menunda lapangan jika perlu.

Tidak jelas perusahaan mana yang dihubungi pejabat AS.  Royal Dutch Shell, ConocoPhillips, dan Exxon menolak berkomentar ketika ditanya apakah mereka telah dihubungi.  Chevron Corp, Total, Equinor, dan Qatar Energy juga tidak segera menanggapi permintaan komentar.

Sumber anonim lainnya mengatakan perusahaannya ditanya apakah mereka memiliki kemampuan untuk menunda pemeliharaan di ladang gas jika perlu. Seorang juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS tidak mengomentari diskusi AS dengan perusahaan-perusahaan energi, tetapi mengonfirmasi bahwa perencanaan kontinjensi sedang berlangsung.

"Setiap detail dalam hal ini yang sampai ke publik hanya menunjukkan detail dan keseriusan kami, sedang kami diskusikan dan siap untuk memberlakukan tindakan signifikan dengan sekutu dan mitra kami," katanya

Moskow telah memperingatkan Barat dengan mengerahkan pasukan di dekat Ukraina dalam dua bulan terakhir, menyusul perebutan semenanjung Krimea Ukraina pada 2014 dan dukungannya terhadap separatis yang memerangi pasukan Kyiv di Ukraina timur. Biden sebelumnya telah mengatakan kepada Presiden Rusia Vladimir Putin bahwa langkah baru Rusia di Ukraina akan menarik sanksi dan meningkatkan kehadiran AS di Eropa.

Rusia membantah berencana menyerang Ukraina dan mengatakan pihaknya memiliki hak untuk memindahkan pasukannya di wilayahnya sendiri sesuka hati. "Amerika Serikat berjanji untuk mendukung Eropa jika ada kekurangan energi karena konflik atau sanksi," kata sumber industri kedua.

Ia mengatakan Amos akan pergi ke perusahaan besar penghasil LNG dan negara-negara seperti Qatar untuk melihat apakah mereka dapat membantu Amerika Serikat. Jika pasokan pipa dari Rusia ke Eropa berkurang, pembeli Eropa perlu mencari kargo gas super dingin untuk mengimbanginya.

Ekspor gas alam cair (LNG) AS akan melonjak tahun ini untuk menjadikannya pemasok LNG top dunia.  Eropa bersaing untuk mendapatkan pasokan LNG dari pemasok seperti Amerika Serikat dan Qatar dengan konsumen utama China dan Jepang, yang juga menghadapi krisis energi.

 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement